Awal 1990-an, saya pernah menulis sebuah artikel dalam "Kolom Debat Mahasiswa" di Harian Bernas Yogyakarta, dengan judul "Naskah Otentik Supermar". Melalui artikel tersebut, saya mempertanyakan eksistensi naskah otentik Surat Perintah Sebelas Maret (Supermar). Karena waktu itu sedang bergulir isu tentang hilangnya Naskah Otentik Supersemar.
Mempertanyakan eksistensi Naskah Otentik Supersemar pada saat itu, tentu merupakan suatu keberanian tersendiri. Bisa juga dikatakan kekonyolan. Sebab sangat sensitif dan tabu serta bisa dianggap sebagai suatu tindakan yang subversif. Merongrong rezim Soeharto yang sedang berkuasa, sebagai pelaku Supersemar. Waktu itu juga saya heran, mengapa Harian Bernas berani memuat artikel saya itu.
Entah ada hubungannya atau tidak, beberapa hari setelah Harian Bernas memuat artikel saya itu, Jenderal purnawirawan M. Jusuf, salah satu dari tiga Jenderal pelaku Supersemar, yang diutus oleh Soeharto untuk meminta Supersemar atau barangkali mendesak Soekarno untuk menandatangani Supersemar, mengeluarkan klarifikasi tentang Naskah Otentik Supersemar dari kediamannya di Makasar. Menurut beliau, naskah otentik Supersemar itu ada. Jika hilang, katanya, harus segera ditemukan, karena itu merupakan bukti sejarah perjalanan peradaban negara dan bangsa kita.
Dua puluh tujuh tahun kemudian, sampai dengan kondisi tahun ini, terkait 11 Maret sebagai Hari Supersemar, saya berusaha mencari-cari informasi tentang eksistensi Naskah Otentik Supersemar melalui Om Google, namun saya tidak menemukan kepastiannya. Justeru yang saya dapatkan adalah keraguan para penulis tentang kebenaran naskah Supersemar yang ada di Lembaga Kearsipan Nasional, yang dinyatakan sebagai duplikasi asli atau otentik.
Dengan ketidakpastian eksistensi Naskah Otentik Supersemar itu, tentu memunculkan banyak pertanyaan. Misalnya, apakah memang betul ada naskah Supersemar waktu itu? Kalau memang ada, apakah isinya memang sudah sesuai dengan yang kita pelajari di sekolah-sekolah, yang diajarkan oleh para guru sejarah, selama ini?
Pertanyaan berikutnya adalah mengapa seorang Presiden Soekarno yang sedang berkuasa harus mengeluarkan Supersemar untuk menugaskan bawahannya yaitu Soeharto? Atau mengapa seorang bawahan (Soeharto) harus meminta Supersemar dari atasannya (Presiden Soekarno) untuk mengendalikan situasi negara saat itu yang sedang tidak stabil? Bukankah seorang bawahan memang sudah sepantasnya membantu Presiden untuk mengamankan negaranya?
Ada apa sebetulnya dengan Supersemar itu? Jangan-jangan memang benar, kata orang, Supersemar itu, adalah kudeta administrasi. Dengan selembar surat itulah, Soeharto bersama-sama kroninya, mengambil over kekuasaan resmi Presiden dari Soekarno.
Anggapan ini tidak keliru juga. Mengapa? Karena faktanya setelah negara sudah aman dalam tempo sesingkat-singkatnya, setelah Supersemar di tangan Soeharto, bukankah seharusnya Soeharto segera melaporkan kondisi negara yang sudah aman kepada Presiden, sehingga Presiden dapat bertugas kembali sebagaimana mestinya di bawah pengawalan dan jaminan keamanan dari Soeharto? Justeru yang terjadi adalah dengan selembar surat yang bernama Supersemar itu menjadi senjata sakti Soeharto untuk meneruskan kekuasaan sah Soekarno sampai Soeharto sendiri menjadi Presiden sah selama 32 tahun lamanya. Aneh memang tapi nyata.
Pertanyaan berikutnya, dengan tidak atau belum adanya naskah Otentik Supersemar itu, apakah pelajaran sejarah tentang Supermar perlu terus dilanjutkan di sekolah-sekolah? Bukankah sejarah itu bukan dongeng? Legenda saja ada jejaknya. Masa sih belajar sejarah tidak ada buktinya.
Daripada ... daripada ... terus bertanya dan bisa saja berpeluang kebablasan, lebih baik kita singkat saja dengan pertanyaan : Quo Vadis Naskah Otentik Supersemar?
Rofinus D Kaleka *)