Sangat Membumi
Isi Surat Gembala Uskup Weetebula tersebut sangat membumi. Beliau sungguh menggugat dan mereflesikan fakta nyata yang memang terjadi di bumi Sumba.
Berdasarkan hasil pengamatan saya, lingkungan hidup atau ekosistem di pulau Sumba memang sudah cukup memperihatinkan. Mengapa demikian?
Pertama, pembakaran padang, untuk kepentingan ternak gembalaan masyarakat, sudah berjalan sejak lama. Kini memang sudah berkurang, namunmasih sering terjadi setiap musim kemarau di bagian timur wilayah Sumba. Pembakaran padang ini menjadi penyebab utama terjadinya kebakaran dan rusaknya hutan-hutan savana di Sumba.
Kedua, perambahan dan pembalakan liar hutan, justeru makin merajalela sekarang ini. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari bergesernya penanganan kawasan hutan. Pemerintah kabupaten tidak mempunyai peranan lagi. Sudah bergeser ke provinsi. Sehingga pengawasan hutan pun makin melemah.
Dan ketiga, penggunaan pestisida, pupuk, herbisida dan insektisida sudah tidak terkendali lagi. Ini sudah merupakan tradisi baru para petani dalam mengolah lahan kebun dan sawah.
Dampaknya jelas, pulau Sumba menjadi sering dilanda hama belalang kembara, hama tikus, dan wabah penyakit sura dan hocholera pada ternak-ternak peliharaan, serta hama ulat pada tanaman jambu mente. Disamping itu, tanaman pisang yang selama ini menjadi salah satu komoditi ekspor unggulan dari pulau Sumba ke Bali dan Jawa, sudah musnah. Ini sudah berlangsung lebih dari lima tahun.
Oleh karena itu, saya pribadi sangat bersyukur, Uskup Weetebula, sebagai pemimpin umat Katolik se-Sumba, ikut turun tangan untuk menyerukan pentingnya memelihara dan mencintai bumi Sumba. Mudah-mudahan seruan Yang Mulia melalui jalur gereja tersebut dapat menyadarkan warga Sumba untuk segera meninggalkan perilaku hidup merusak bumi, lingkungan hidup atau ekosistem di pulau Sumba.
Rofinus D Kaleka *)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H