Profisiat untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia. Lagi-lagi lembaga antirasuah yang terhormat ini menunjukkan power-nya dalam pemberantasan tindakan pidana korupsi di tanah air. Kepala Daerah lagi yang terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK. Di daerah miskin lagi.
Peristiwanya kemarin, 11 Februari, Tim KPK melakukan OTT terhadap Marianus Sae, Bupati Ngada dua periode yang saat ini sedang menjadi calon Gubernur di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), dalam kasus dugaan menerima suap proyek infrastruktur jalan sebesar Rp. 4,1 milyar. Suap tersebut berasal dari Direktur Utama PT Sinar 99 Permai, Wilhelmus Iwan Ulumbu.
Kedua orang tersebut, telah ditetapkan statusnya sebagai Tersangka oleh KPK hari ini, 12 Februari, setelah dilakukan pemeriksaan intensif di Kantor KPK Jakarta. Penetapan tersangka tersebut telah diumumkan oleh Wakil Ketua KPK, Basaria Pandjaitan, dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, tadi pagi.
OTT KPK terhadap Marianus Sae tersebut, tentu mengagetkan bagi warga masyarakat NTT yang simpati atau empati terhadapnya. Tentu berbeda lagi respon warga masyarakat dan rival-rival politiknya. Mungkin mereka saat ini sedang bersuka cita.
Dengan membebaskan diri dari praduga yang macam-macam, apalagi dikaitkan-kaitkan dengan urusan politik praktis, apa catatan penting yang kita ambil dari kasus OTT KPK tersebut?
Catatan sederhana saya pribadi, yang pertama, adalah ungkapan klasik bahwa kekuasaan itu cenderung korup memang benar adanya. Setidaknya ungkapan tersebut relevan bagi kita di Indonesia. Perhatikanlah kasus-kasus korupsi yang terjadi selama ini, bukankah yang dijaring baik oleh KPK maupun lembaga hukum sah yang lainnya seperti polisi dan kejaksaan adalah mereka yang mempunyai kekuasaan publik, seperti DPR RI/DPRD, Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, hakim, jaksa, dan polisi serta kepala desa?
Catatan kedua adalah jabatan-jabatan politik dan pelayanan publik di Indonesia ini memang perlu diawasi secara lebih ketat lagi. Jika perlu sampai pada level kepala desa. Sebab sekarang ini ADD semakin besar jumlahnya dan banyak yang mensinyalir bahwa cenderung disalahgunakan oleh para kepala desa.
Catatan ketiga adalah partai-partai politik di Indonesia harus menjadi prioritasi untuk diawasi oleh KPK. Sebab dari partai inilah yang menghasilkan para pejabat politik. Jika tidak ada lagi "mahar" di partai maka barangkali tidak ada lagi para pejabat politik yang cenderung melakukan korupsi. Para pejabat politik itu melakukan korupsi, tidak lain karena banyaknya utang ongkos politik.
Catatan keempat adalah lembaga pengawas pembangunan di daerah harus diperkuat lagi eksistensinya. Contohnya, Inspektorat. Sekarang ini inspektorat masih merupakan organisasi perangkat daerah. Lembaga ini dibentuk oleh kepala daerah. Demikian pula para pejabat dan personilnya ditentukan oleh kepala daerah. Dengan statusnya yang demikian, maka musyikil melakukan pengawasan secara independen. Oleh karena itu sudah seharusnya diganti regulasinya menjadi lembaga vertikal, yang bisa berhubungan secara langsung dengan BPKP, BPK, kepolisian, kejaksaan dan KPK.
Catatan kelima adalah dengan masih adanya fakta pejabat politik seperti Marianus Sae yang di-OTT oleh KPK, maka jika kita sungguh-sungguh berniat memberantas korupsi di negeri ini, maka seluruh lembaga penegak hukum harus bersatu bersama rakyat. Tidak boleh lagi ada sengketa antara KPK, kejaksaan dan kepolisian. Berantas juga para DPR yang ingin mengganggu eksistensi KPK. Berantas juga para oknum penegak hukum yang "merawat" para koruptor. Tidak bisa tidak, harus bisa.
Demikianlah catatan sederhana saya, yang saya anggap penting, meskipun tidak luar biasa, sebagai dukungan moral dalam rangka membersihkan negeri tercinta ini dari perbuatan amoral bernama korupsi. ***