Mohon tunggu...
Rofinus D Kaleka
Rofinus D Kaleka Mohon Tunggu... Insinyur - Orang Sumba. Nusa Sandalwood. Salah 1 dari 33 Pulau Terindah di Dunia. Dinobatkan oleh Majalah Focus Jerman 2018

Orang Sumba, Pulau Terindah di Dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Ada Pasola di Wanukaka, Lamboya dan Gaura Sumba Barat

9 Februari 2018   05:36 Diperbarui: 9 Februari 2018   05:46 1416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Melalui artikel-artikel yang telah di-posting di Kompasiana ini, saya telah mengisahkan asal mula Pasola atau Paholong di wilayah suku Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Untuk melengkapi kisah-kisah terdahulu dan sekaligus memberikan jawaban atas kemungkinan adanya pertanyaan, mengapa ada Pasola di wilayah suku Wanukaka, Lamboya dan Gaura, Kabupaten Sumba Barat, maka melalui artikel ini saya mengisahkan tentang awal mula penyelenggaraan iven Pasola di sana.

Pada zaman dahulu (Yi Nowo), bukan zaman dahulu kala (Yinowo Notu), terjadilah kisah nyata jalinan asmara antara seorang laki-laki dari Kodi (warga kampung Lamete / Mbukubani / Tohikyo ?) dan seorang perempuan cantik jelita dari kampung Waiwuang, Wanukaka. Laki-laki bernama Teda  dan perempuan bernama Rambu Kabba. Kedua insan ini saling jatuh cinta. Namun keluarga Rambu Kabba, tidak merestui karena kendala tradisi adat istiadat.

Rambu Kabba adalah janda dari Umbu Dula, seorang tokoh dari kampung Waiwuang. Konon, waktu itu Umbu Dula bersama kedua orang saudaranya yaitu Ngongo Tau Massu dan Yagi Waikareri, pamit kepada keluarga mereka untuk "mandara" padi ke tempat yang jauh. Mandara berarti meminta bantuan sahabat kenalan atau keluarga yang diketahui memanen padi. Pergi dalam waktu cukup lama dan tanpa kabar berita sama sekali, menyebabkan keluarga Waiwuang berkesimpulan bahwa ketiga bersaudara itu telah meninggal dan dikuburkan secara simbolis sesuai adat istiadat yang resmi.

Menurut tradisi adat istiadat perkawinan di Sumba, yang berhak meneruskan perkawinan dengan Rambu Kabba adalah saudara kandung atau tiri atau dalam satu suku dari Umbu Dula. Prinsipnya, Rambu Kabba telah dibelis dari kampung adat orang tuanya dan dengan sedirinya sudah pindah kampung adat secara resmi. 

Supaya belis tadi tidak sia-sia maka Rambu Kabba (dan turunannya) tidak boleh keluar dari kampung Waiwuang. Orangtua Umbu Dula dan orang tua Rambu Kabba, juga tidak bisa lagi mengawinkan Rambu Kabba dan menerima belis dari laki-laki lain, baik dalam kampung Waiwuang sendiri maupun dari suku yang lain. Inilah alasan mendasar "larangan" hubungan asmara antara Teda dan Rambu Kabba.

Namun gelora cinta antara Teda dan Rambu Kabba tidak bisa dibendung lagi, sehingga mereka pun memilih untuk kawin lari (Pakondongo). Nasi telah menjadi bubur, beberapa waktu kemudian tibalah ketiga bersaudara tadi. Warga Waiwuang memang bersuka cita, tapi tragis bagi Umbu Dula karena isterinya sudah lari ke Kodi.

Demi martabat keluarga dan suku, Umbu Dula bersama warga Waiwuang berusaha untuk merebut kembali Rambu Kabba dari Kodi. Demikian juga dengan Teda, demi martabat keluarga dan sukunya, bertahan untuk tidak mengembalikan Rambu Kabba ke Waiwuang. Apalagi Rambu Kabba sendiri, juga tidak mau lagi berpisah dengan Teda dan suku Kodi.

Untuk menghindari pertikaian dan perang antara kedua suku, maka para tetua adat dari kedua belah pihak bermusyawarah sesuai dengan amanat adat-istiadat dalam kasus perkawinan seperti itu. Mereka akhirnya bermufakat dengan ikhlas. Teda bersedia mengembalikan semua belis dari Umbu Dulu. Perkawinan antara Teda dan Rambu Kabba pun diresmikan secara adat.

Kemudian sebagai jalinan persaudaraan dan kenangan perdamaian yang indah antara suku Kodi dan Wanukaka, maka para tetua adat Kodi dengan restu Rato Nale, menyerahkan "Karabba Nale atau Palungan Nale" kepada keluarga Waiwuang supaya suku Wanukaka juga menyelenggarakan "Tradisi Ritus Nale", dengan tetap mentaati seluruh pakemnya, termasuk menyelenggarakan iven Pasola. Namun pelaksanaan iven Pasola di Wanukaka tidak boleh bersamaan dengan di Kodi, supaya warga dari kedua suku tersebut bisa terus saling mengunjungi sebagai saudara. 

Karena itulah maka iven Pasola di Wanukaka berlangsung pada bulan Maret, tepatnya pada saat puncak panen padi sawah dan di Kodi bertepatan dengan saat panen jagung. Demikian juga dengan penata tradisi ritus nale, jika di Kodi berada di bawah pengaruh Rato Nale maka di Wanukaka cukup dengan Rato Marapu.

Sedangkan kisah kehadiran iven tradisi ritus nale di Lamboya dan Gaura berbeda dengan Wanukaka. Di samping karena pengaruh relasi silaturahmi persaudaraan yang kental, juga karena adanya migrasi warga suku baik dari Kodi maupun Wanukaka. Bila bersilaturahmi di kampung adat Sodana, Lamboya, kita akan dikisahkan tentang masing-masing rumah adat yang didiami oleh berbagai warga suku yang ada di Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Barat Daya. Namun terkait dengan pelaksanaan iven tradisi ritus nale di Lamboya dan Gaura, menurut Rangga Mete, tetua adat di Kodi, resmi melalui prosedur adat-istiadat. ***

Semoga bermanfaat. Salam.  

Rofinus D Kaleka *)

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun