Di hari yang indah ini, saya ingin menyajikan kabar indah tentang sebuah muara yang mempunyai nilai sejarah. Muara ini terletak di sisi barat Kabupaten Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tepatnya di bibir tebing karang, samping selatan Kampung Pero, Desa Pero Konda, Kecamatan Kodi.
Muara tersebut merupakan pertemuan antara air laut Pantai Pero di sisi barat dan air sungai Bondo Kodi di sisi timur. Profil muara ini indah dan menarik. Air dari laut masuk melalui terusan bernama Punda Rere yang lebarnya lebih dari 50 meter. Punda Rere adalah delta pasir yang tampak seperti sebuah daratan kecil di sisi barat muara tersebut. Delta ini unik dan indah lho.
Luas muara tersebut sekitar 1 (satu) hektar. Airnya dalam dan bersih, tanpa lumpur. Daratan di atas tebing di sisi utara muara tersebut dipadati pepohonan hijau, termasuk kelapa. Sedangkan di sisi timur laut dan selatan muara tersebut merupakan habitat pohon mangrove (bakau). Singkatnya lingkungan muara tersebut hijau dan sejuk serta menawarkan oksigen yang segar di siang hari.
Muara Pero tersebut mempunyai nilai sejarah tersendiri terkait eksistensi perjalanan peradaban kehidupan sebagian masyarakat di wilayah barat Pulau Sumba, khususnya suku Kodi. Di muara Pero inilah, sebagian nenek-moyang orang Kodi berlabuh. Ada yang bersuku bangsa Jawa, Ende Flores, dan juga Tianghoa. Sementara yang lainnya tidak diketahui persis dari mana asal mulanya.
Para imigran ini masuk di muara tersebut dengan latarbelakang dan tujuan yang berbeda-beda. Ada yang berdagang, ada nelayan, dan ada yang terdampar karena melarikan diri, terutama setelah pecahnya perang Mataram dan juga Majapahit.
Pada awalnya mereka umumnya berdomisili di delta sungai Bondo Kodi di sisi barat jembatan Bondo Kodi atau kini di samping selatan Bondo Kodi, ibukota Kecamatan Kodi. Dari delta sungai Bondo Kodi ini baru mereka menyebar ke beberapa tempat.
Mereka yang beragama islam, diduga menjadi pendiri Parona (kampung Adat) Manulongge di wilayah Kodi Bangedo. Mereka yang nelayan menjadi penghuni awal Kampung Pero di sisi utara muara tersebut. Sedangkan mereka yang pedagang, khususnya suku bangsa Tianghoa, tinggal di daratan Bondo Kodi dan Rada Kapal.
Dari Kori, suku bangsa Tianghoa tersebut bergeser lagi ke Waitabula, wilayah perdagangan dan pertokoan, kini termasuk wilayah Tambolaka, ibukota Kabupaten Sumba Barat Daya. Sebagian dari mereka ini bergeser lagi ke Waikabubak, wilayah perdagangan dan pertokoan, kini ibukota Kabupaten Sumba Barat.
Muara Pero tersebut, juga menjadi pintu masuk penjajah militer Belanda ketika memasuki wilayah Kodi. Di muara inilah yang menjadi tempat berlabuh kapal penjajah militer Belanda, sekitar tiga kali pada awal 1990-an, dalam rangka menaklukan dan menduduki Kerajaan Kodi yang sedang berada di bawah kekuasaan Raja Kodi yang gagah berani, yaitu Hangandi Rato Loghe Kanduyo.
Kini Muara Pero berfungsi sebagai tempat keluar masuknya perahu-perahu motor nelayan. Di sore dan pagi hari, kita dapat menyaksikan lebih dari seratus unit perahu motor nelayan. Dari muara ini kita juga dapat menikmati pesona indah sunset di kaki langit pantai Pero.
Jika ingin jalan-jalan untuk mengunjungi Muara Pero yang indah dan bernilai sejarah tersebut, maka sekaligus juga dapat mengunjungi Pantai Pero yang indah. Lokasi tersebut tidak sulit dijangkau. Jalan menuju lokasi tersebut mulus. Semuanya sudah hotmix. Dengan kendaraan roda dua dan roda empat dari Tambolaka, kita hanya membutuhkan waktu sekitar setengah jam lebih saja. Di Kampung Pero juga ada penginapan yang murah. Mudah bukan?
Rofinus D Kaleka *)
, Â
   Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H