Bukan rahasia lagi, sampai saat ini, masyarakat di Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), masih bergelut dengan masalah kesehatan. Salah satu sumber masalah yang belum mampu diatasi, adalah perilaku kehidupan sosial masyarakat, terutama di daerah pedesaan, yang belum memperhatikan kesehatan lingkungannya. Misalnya, mereka masih sajaterusmelakukan Taiko Wewar. Istilah apakah itu?
Taiko Wewar adalah istilah dalam bahasa ibu masyarakat SBD, khususnya suku Wewewa dan Loura. Sedangkan di suku Kodi,disebut Teyo Wewer, bila dieja menjadi tewewer. Kedua termilogi daerah tersebut, berarti Buang Air Besar Sembarangan, yang lebih populer dengan singkatan BABS.
Taiko Wewar adalah gambaran dari sanitasi yang buruk. Data STBM di SBD menunjukkan, masih ada 24.000 keluarga di SBD yang melakukan Taiko Wewar. Angka ini menurut pengamatan saya masih terlalu rendah. Jika dilakukan kajian yang lebih serius lagi, seharusnya jauh di atasnya lagi. Mungkin hanya demi sopan-santunlah, sehingga Tim STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) hanya mengungkapkan angka sebatas itu saja. Dapat dimaklumi juga.
Dampak dari sanitasi yang buruk, termasuk akibat Taiko Wewar, seringkali memunculkan wabah diare dan pneumonia serta malaria. Dalam banyak kasus kematian, terutama balita, di SBD, salah satu penyebabnya adalah diare.
Mengapa masyarakat SBD masih sangat banyak yang melakukan Taiko Wewar? Jawaban humornya adalah karena mereka sangat mencintai tumbuhan atau tanaman dan ternak kecil peliharaannya. Mereka menebar pupuk untuk tumbuhan atau pohon-pohon dan memberikan makanan untuk babi, anjing dan ayam. Alasan humor ini bisa saja juga ada benarnya. Karena tumbuhan atau pohon di sekitar mereka melepaskan tinjanya tampak subur. Demikian juga babi, anjing dan ayam yang biasa makan tinja mereka tambun atau gemuk. Masa sih!
Tapi alasan yang paling substansial adalah karena mereka tidak mempunyai jamban. Mengapa mereka tidak mempunyai jamban? Ada beberapa alasan yang sering dituding sebagai penyebabnya. Diantaranya, pendidikan dan kesadaran yang rendah, ekonomi yang lemah, malas, dan kurangnya sosialisasi. Ya, bisa saja juga ada benarnya.
Tapi menurut pengamatan saya, lebih utama disebabkan oleh masalah air. Sumber air yang jauh, menyebabkan ketersediaan air dalam setiap rumah tangga sangat terbatas. Sekarang ini sudah cukup baik, ada truk tangki yang jual air. Kalau punya uang tinggal beli dan tampung di bak khusus untuk air. Masalahnya, tidak semua warga masyarakat memiliki bak penampung air dan uang cukup untuk membeli air. Di sinilah kendalanya. Membuang hajat di jamban harus selalu tersedia air.
Memang bisa saja kita rekomendasikan untuk membuat jamban cemplung. Untuk membersihkan sisa kotoran di pantat, dapat menggunakan kertas atau daun-daunan. Resikonya, lubang jamban cepat penuh. Ketika membuat jamban baru itulah terjadi kendala, karena butuh waktu dan tenaga ekstra. Bukan hanya sekadar gali lubang saja, tapi juga membuat tutupan lubang dan rumah jamban. Di sinilah sering muncul kemalasan dan menunda-nunda pembuatannya sampai terlupakan. Akhirnya, mereka kembali lagi pada kebiasaan awal melakukan Taiko Wewar.
Untaian reflektif di atas, menggambarkan betapa cukup kompleks dan dilematisnya upaya-upaya semua pemangku kepentingan untuk menghentikan atau menyetop perilaku masyarakat SBD melakukan Taiko Wewar. Tapi kalau memang sungguh-sungguh bertekad untuk menghentikan perilaku Taiko Wewar, maka mau tidak mau para pemangku kepentingan harus menggenjot pembangunan sarana dan prasarana air, supaya masyarakat mudah mengakses sumber air dan air tersedia dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, termasuk untuk jamban.
Rofinus D Kaleka *)
Pemerhati sosial politik yang tinggal di Sumba Barat Daya **)