Mohon tunggu...
Rofinus D Kaleka
Rofinus D Kaleka Mohon Tunggu... Insinyur - Orang Sumba. Nusa Sandalwood. Salah 1 dari 33 Pulau Terindah di Dunia. Dinobatkan oleh Majalah Focus Jerman 2018

Orang Sumba, Pulau Terindah di Dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Betapa Indahnya Natal di Kampung Adat Sumba Barat Daya

26 Desember 2017   23:08 Diperbarui: 27 Desember 2017   22:18 1948
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sehari setelah puncak perayaan Natal, 25 Desember 2017, kami bersaudara, masih dalam satu rumpun garis keturunan, yang tinggal di kota kabupaten, sepakat untuk merayakan Natal bersama keluarga, orang-tua dan sanak-saudara, di Parona (Kampung Adat).

Pagi-pagi, 26 Desember 2017, sekitar jam enam pagi WITA, kami berangkat. Pelan-pelan sambil menikmati udara segar pagi hari. Satu jam lebih sedikit, kami sudah tiba di Mbukubani, nama kampung adat leluhur kami. Kampung ini terletak di Desa Ate Dalo, Kecamatan Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya.

Para orang tua dan sanak-saudara kami merasa kaget. Wajar saja, karena biasanya kami mudik ke kampung tersebut, hanya sekali setahun yaitu pada bulan Februari, saat perayaan Tradisi Nale, termasuk event Pasola di dalamnya.

Mereka berhamburan turun dari bale-bale rumah adat untuk menyambut kedatangan kami. Salam cium hidung, ujung hidung menyentuh ujung hidung antara satu dengan lainnya, sebagai ungkapan adat persaudaraan dalam nuansa kegembiraan Natal, berlangsung secara spontan.

Oleh-oleh yang kami bawa berupa sirih-pinang, tembakau, dan juga kue Natal sederhana, kami berikan kepada mereka. Sementara mereka masih menikmati oleh-oleh tadi, kami bergegas mengunjungi kuburan para leluhur di sekitar lingkaran kampung tersebut. Kami menaburkan sirih pinang dan tembakau seperlunya saja di atas kubur-kubur tua megalit berpola dolmen itu. Tradisi inilah yang dikenal oleh para leluhur kami, sehingga kami tidak membawa lilin untuk dinyalakan di sekitar kuburan leluhur kami.

Setelah berkomunikasi adat seperlunya dengan para leluhur, kami kembali ke rumah adat. Di sini kami ngobrol dan bersenda-gurau penuh keakraban dan kegembiraan. Dari raut wajah mereka, tampak sangat gembira. Artinya, mereka bahagia sekali dengan kehadiran kami yang tidak terduga.

Seorang bapak yang paling sepuh, namanya Gheru Ndungo, menyela senda-gurau kami. "Kedatangan kalian ini, sangat membahagiakan saya dan kami semua. Kampung ini adalah milik kita semua. Kalau kalian yang mengerti dan sekolah, jarang datang, siapa yang kami harapkan untuk memperbaiki dan melestarikan keberadaan kampung adat ini," tutur Rato Nale tersebut. Rato Nale adalah imam adat yang khusus menangani urusan Tradisi Nale.

Suasana senda-gurau yang dihiasi gelak-tawa tadi berubah menjadi hening. Kami juga tidak ada yang berani berkomentar. Tapi dalam hati saya mengakui kebenaran yang dikatakan Rato Nale itu.

Rato Nale itupun melanjutkan, "Karena kalian datang dari kota dan juga merupakan generasi penerus kampung ini dan tradisinya, maka hari ini kita merayakannya dengan adat singkat. Semua rumah adat wajib bakar ayam di pelataran kampung ini sebagai ujud syukur dan memohon berkat dari para leluhur dan Sang Pencipta. Saya harap tidak ada yang menolak."

Semua orang tua dan anak muda bergegas menangkap ayam. Demikian juga ibu-ibu dan nona-nona sibuk menumbuk padi dan kemudian memasak.

Semua ayam disembelih dan dibakar di pelataran kampung. Tentu saja setelah didoakan secara adat oleh Rato Nale.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Ayam-ayam tersebut ada yang dipanggang dan ada yang di-lawar, dimasak ala Kodi, menggunakan santan kelapa kental dan bumbu alami.

Kemudian kami makan bersama. Kami, masing-masing dihidangkan satu ayam bulat yang di-lawar dan satu lagi ayam panggang. Nasi yang dihidangkan adalah beras pare gogo, beras wangi padi ladang yang terkenal di Sumba.

Kami makan dengan lahap sekali, maklum menunya sangat enak. Tentu saja daging ayam kampung tersebut tidak bisa kami habiskan, karena masing-masing mendapat jatah dua ekor. Sisanya dibungkuskan oleh mereka untuk kami bawa pulang. Tradisi kami memang begitulah, jadi tidak bisa ditolak lagi.

Setelah makan kenyang, salah seorang dari kami, namanya Emanuel Ndaha Takki, menyeletuk dalam nada humor, "Inilah unik dan asyiknya. Betapa sangat indahnya Natal di kampung adat. Kalau di kota, satu ekor ayam dimakan banyak orang. Ayam potong lagi, yang dipaksa cepat besar. Nasinya, dari beras oplosan lagi, yang diproduksi dengan pupuk kimiawi. Kita tidak boleh malas lagi datang ke kampung. Kalau kami datang lagi, masak yang lebih enak lagi ya! Jangan lupa ikan mentah juga ya!"

Komentar Emanuel tersebut, disambut gelak-tawa oleh semua yang ada. Suasana kembali dalam senda-gurau lagi.

Ketika mentari sudah condong ke ufuk barat, kami berpamitan. Dalam perjalanan, kami saling mengingatkan untuk selalu datang berkunjung ke kampung sesuai pesan Rato Nale tadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun