KINI hampir dua bulan sudah Anies Baswedan menjadi Gubernur DKI Jakarta, setelah dilantik oleh Presiden RI, Joko Widodo, di Istana Negara, 16 Oktober 2017 lalu. Pidato politiknya, yang digelorakannya dengan penuh semangat, di hadapan publik (masyarakat) Jakarta dan tentu saja juga didengarkan oleh seluruh masyarakat Indonesia dan bahkan dunia, ketika itu serta merta langsung viral bahkan menjadi fenomena tersendiri dalam blantika medan sosial-politik nasional. Isi pidatonya itu masih meninggalkan sisa resonansi impresif sampai saat ini.
Respon publik terhadap isi pidato Anies itu, bukan sekadar reaktif saja akan tetapi juga sangat kritis. Memang banyak orang yang memujinya, namun lebih dahsyat lagi jumlah orang yang kecewa dan tersakiti oleh pidatonya. Ada apa sebetulnya dengan pidato sang gubernur baru DKI Jakarta itu?
Ide Raksasa tapi Absurd
      Setelah dicermati dengan pikiran dan hati yang dewasa, sesungguhnya pidato Anies itu mengusung ide atau gagasan raksasa, mungkin terlampau hiperbola kalau disetarakan layaknya pidato seorang presiden. Pilihan kata-kata dan gramatika bahasanya bagaikan syair-syair sastra. Diartikulasikan dengan retoris khas Anies, sepintas terasa indah memang ketika sampai di telinga publik.
 Tapi sayang sungguh sayang, ide raksasa dalam pidato Anies itu, terlampau jauh melambung dan tidak lebih dari sebuah retorika yang absurd. Makna dan maksudnya mengambang. Sukar diterjemahkan arah tujuan dan sasarannya. Wajarlah jika publik mengkritiknya dengan sinis, pidato Anies hanyalah politik permainan kata-kata indah, bukan pidato yang berorientasi pada kerja nyata.
Tidak Ramah Lingkungan
      Pidato Anies tersebut juga tidak sesuai sama sekali dengan konteks waktu dan ruang dinamika kehidupan Jakarta kekinian yang akan dipimpinnya dan Indonesia yang sedang menantikan kiprahnya. Mengungkit isu masa penjajahan atau kolonialisme di era kini, sungguh ibarat jauh panggang dari api.
Lebih parahnyanya lagi, pidato Anies tersebut juga tidak ramah lingkungan "rumah keindonesiaan". Â Hal ini sangat jelas dari pilihan diksi atau terminologi "pribumi" yang bukan sekadar dilontarkannya tapi memang senyatanya tertulis dalam pidatonya.
Kita tahu bersama bahwa diksi pribumi versus non-pribumi yang menjadi dikotomi selama ini, sangat sensitif di negeri yang mega luas dan multi pluralistik ini. Terutama berkaitan dengan eksistensi aneka suku bangsa yang hidup dan menjadi penghuni defacto-sah di atas bumi di bawah kolong langit Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tercinta ini.
Dikotomi pribumi versus non-pribumi, adalah diksi yang sudah kadaluwarsa dan tidak relevan lagi serta resmi dilarang penggunaannya dalam konteks keindonesiaan, karena sarat makna diskriminatif dan kontra-produktif. Jejak sejarah perjalanan eksistensi negara dan bangsa kita mencatat jelas bahwa dampak dari dikotomi diksi pribumi versus non-pribumi berpotensi melahirkan perpecahan dan instabilitas dalam dinamika kehidupan masyarakat, baik sosial, ekonomi, politik dan pembangunan nasional.
Dengan mengusung isu kolonialisme dan dikotomi diksi pribumi versus non-pribumi, maka bukan isapan jempol belaka kalau publik menyoroti pidato Anies itu dengan cap sangat tendensius. Terkesan, Anies sedang menggertakkan giginya. Tampaknya belum move-on secara politik, walaupun sudah sukses meraih Gubernur DKI Jakarta. Sakit politik yang dialaminya ketika tergusur dari posisi Menteri Pendidikan Nasional RI rupa-rupanya belum sembuh dan seolah-olah ingin membalasnya dengan strategi politik menyakiti, melalui rasisme bernuansa SARA.