Mohon tunggu...
Rofinus Emi Lejap
Rofinus Emi Lejap Mohon Tunggu... Administrasi - Penyakit dan kemiskinan tidak mampu memenjarakan imajinai dan gelora pengembangan dalam batinku. Waktu terus bergerak maju dan tidak pernah akan kembali dan selalu menampilkan pemandangan baru.

Semua orang diciptakan baik adanya tetapi hati berbeda karena hatinurani.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Fenomena "Kotak Kosong" - Demokrasi Bermartabat!

7 September 2020   20:32 Diperbarui: 7 September 2020   20:19 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memasuki hari pemilihan umum (pemilu) 1971 beredar luas dimasyarakat, yaitu isu bahwa semua warga yang ikut harus menusuk(memilih) Golkar dengan nomor urut 5 (lima). Pemilu kali itu ada 10 partai, tetapi penguasa melalui aparat keamanan menjadi penyebar isu dengan ancaman bahwa mereka yang tidak tusuk Golkar dianggap PKI. Dan semua warga tahu bahwa PKI adalah partai terlarang sehingga memilih partai lain, selain Golkar, sama dengan bunuh diri.

 Golkar yang dikepalai tokoh sangat berpengaruh, dan saat itu sang tokoh sedang dipuja sebagian besar masyarakat Indonesia, karena dianggap sebagai penyelamat bangsa dengan menghapus partai terlarang itu dari bumi Indonesia. 

Kalau ada 10 partai mengapa hanya Golkar yang wajib dipilih oleh rakyat? Apa artinya pemilihan umum bila 9 partai yang lain sudah 'dikebiri' dengan isu negatif sebelum bertanding? Pertanyaan-pertanyaan ini akan sangat panjang karena ada prinsip dasar yang dilanggar, yaitu hak pemilih untuk memilih secara langsung, umum, bebas dan rahasia (=luber) sengaja dibungkam.

Memasuki pemilu di Masa Reformasi, partai peserta Pemilu bukan lagi 10 atau tiga melainkan puluhan. Namun semua wajib memenuhi jumlah masa tertentu untuk lolos ke parlemen. Dan itu sah dan wajar sesuai konstitusi.

 Di tengah alam demokrasi muncul persoalan baru dalam Pilkada, yaitu calon tunggal kepala daerah berhadapan dengan "Kotak Kosong." Sang Calon Tunggal diusung oleh partai-partai peserta dan kotak kosong dianggap diusung oleh rakyat yang tidak mendukung calon usungan partai-partai itu. Dan partai tidak sekedar mengusung  melainkan mensosialisasikan kesiapan serta programnya.

 Calon tunggal memberikan penghematan  kepada si calon, partai dan negara. Seperti tidak perlu ada atribut 'persaingan' antar partai, dan topik kampanye berubah menjadi forum sosialisasi program. 

Dan itu peran partai-partai pendukung sangat penting. Tetapi bila faktanya ada kotak kosong yang menang mengalahkan calon tunggal yang nota bene 'jagoan pilihan' semua partai, berarti masa kampanye harus dipakai untuk sosialisasi program kepada masyakat pemilih.

 Sehingga seluruh partai tidak dipermalukan oleh kekalahan calon usungan mereka. Masakan seorang sarjana dan aktivis hebat kalah oleh kardus murah? Kardus tidak bisa menari dan bersorak atas kemengannya, pemimpin partai melalui perwakilaanya di daerah yang harus malu. Mereka hebat mengusung tetapi gagal meyakinkan masyarakat pemilih. 

 Golkar menggunakan cara 'metakutkan' pemilih dengan isu PKI. Karena aktu itu masih berdekatan dengan tragedi 30 September. Pada masa reformasi pendekatan apa yang digunakan partai-partai bila calonnya tunggal? Apa masih siap kalah menghadapi kotak kosong atau menggunakan cara bermartabat sehingga meyakinkan para pemilih?  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun