Retret atau pengunduran diri secara batin dari segala kegiatan jasmani merupakan kebutuhan mengolah batin bagi setiap orang. Tetapi retret pada zaman sekarang, penggunaannya sering salah kaprah. Pertemuan sekelompok orang dalam suatu kesempatan yang mungkin tidak berhubungan dengan tindakan pengolahan batin juga disebut retret. Membuat pengertian retret secara substantif menjadi dangkal serta kabur.
Generasi milenial pada zaman now, apakah mungkin dapat mengkondisikan diri selama kurang lebih tiga hari untuk mengikuti kegiatan retret? Mungkin pihak penyelenggara akan kewalahan menghadapi mereka yang tidak bisa diam. Mulut, mata serta jari tangan mereka seakan tidak dapat diajak kompromi untuk sesuatu hal yang serius dalam keadaan tenang serta diam.
Pada tahun 1987 Br. Leo Jansen, MTB menyelenggarakan retret yang dikombinasikan dengan kegiatan pramuka dalam bentuk camping. Sistem retret model kombinasi itu diperuntukan bagi peserta kelas 3 SMP atau kelas IX pada zaman now. Model itu ternyata cocok juga untuk peserta pada tingkatan SMA/SMK.
Kegiatan perpaduan antara Pramuka dan Retret itu cocok diikuti peserta lintas agama, biarpun ada kegiatan rohani kristiani. Dan selalu ada waktu bagi mereka yang muslim untuk menjalankan kewajibannya. Pengaturan jadual disesuaikan dengan waktu sholat sehingga mereka tidak terhalangi.
Dan selama penyelenggaraan beberapa tahun berturut-turut tidak pernah ada masalah bagi yang non kristiani.
Revolusi mental menjadi tugas semua elemen masyarakat, dan  tidak bijaksana bila hanya dibebankan kepada lembaga pendidikan formal.  Retret kombinasi dalam bentuk camping di alam terbuka, membuka pula  wawasan peserta akan keagungan Sang Pencipta, kewajiban setiap insan  terhadap-Nya, terhadap sesama manusia dan ciptaan yang lain.Â
Kesadaran  vertikal akan Tuhan yang wajib dipuji, dipuja, disembah serta  bersyukur. Dan kesadaran horizontal terhadap sesama manusia serta  segenap ciptaan. Relasi segitiga yang harus dibangun atas inisiatif  manusia sebagai makhluk berbudi dan berbudaya. Kesadaran imani seperti  ini tidak bisa diharapkan hanya dengan pendidikan formal di sekolah atau  kotbah di rumah ibadat. Kaum muda perlu juga dibawa kepada realita alam  serta pengalaman insani secara holistik.Â
 Camping rohani diselenggarakan selama tiga hari penuh. Mereka dibebaskan dari kebiasaan telepon, sms, chating, gaming, merokok serta kegiatan yang mengarah ke hal-hal negatif. Namun ada waktu untuk kontak ke keluarga sehingga waktu 'perpisahan' yang singkat bagi orang dewasa tidak menjadi beban bagi kaum remaja.