Oleh: Rofinus Emi Lejap
Tertarik dengan fenomena politik Nasional yang berkembang menjelang pemilu legislatif dan pemilu presiden 2019. Ada dua orang tokoh Nasional yang sudah dideklarasikan oleh partai pengusung yang mendeklarasikan capresnya, yaitu PDIP dengan capres Joko Widodo, dan GERINDRA degan capres Prabowo Subianto. Walaupun pengusungan terhadap capres itu belum final, terutama dari pihak Prabowo yang disinyalir bahwa masih bisa berubah; apakah mandat partai itu akan dieksekusi sendiri oleh pak Prabowo atau memandatkan kepercayaan itu kepada orang lain.
 Di antara usungan kepada kedua tokoh itu berkembang pula dukungan dari partai politik terhadap kedua capres itu. Ada yang dengan menyodorkan diri menjadi cawapres pendamping Joko Widodo dan ada partai yang mendudukung tanpa syarat. Dalam kancah politik, fenomena seperti itu tentu menjadi hal yang lumrah, mendukung dengan imbalan atau keuntungan bagi parpol pendukung, entah dalam bentuk pembagian jatah menteri maupun wapres.
Syarat yang disodorkan itu tentu mengusik nurani capres terusung yang nota bene mempunyai hak prerogatif berdasarkan undang-undang. Menjadi sulit karena bila setiap partai pengusung mensyaratkan cawapresnya, misalnya dengan ancaman: "Partai kami mendukung asal cawapres usulan kami diterima".
Kalau ada 7 partai pengusung berarti ada 7 orang cawapres, bukankah itu menjadi beban 'keadilan' tersendiri bagi capres yang diusung? Bila capres memilih salah satu apakah tidak menimbul irihati dan tentutan lain bagi partai yang usulannya ditolak? Apakah sehat sebuah pemerintahan akan berjalan baik bila diawali dengan syarat traksaksional seperti itu? Akan dapat bekerja sama dengan baikkah bila ternyata kemampuan wapres tidak dapat mengimbangi kemampuan presiden atau jauh dari harapan presiden?
Usulanku kepada capres dan partai pengusung; pilihlah cawapres dari partai yang tidak mengajukan cawapres. Dengan demikian tidak 'melukai' rasa keadilan dari partai-partai pendukung serta tidak mengusik hati nurani sang capres. Tetapi cawapres yang dipilih bukan sembarangan tokoh, melainkan ia harus memenuhi syarat dikenal luas oleh masyarakat dalam kata dan tindakan, membuat terobosan dalam sistem demokrasi ke arah yang lebih demokratis dan bermartabat, kinerja dan kehadirannya mencakup seluruh wilayah Nusantara. Usulanku tidak popoler dalam survei tetapi semoga dapat menjadi pertimbangan yang serius oleh partai pengusung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H