Mohon tunggu...
Rofida Lathifah
Rofida Lathifah Mohon Tunggu... -

Muslimah\r\nWife of Makhyan JIbril Al Farabi\r\nMedical Doctor

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Semua akan Baik-baik Saja

2 November 2012   09:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:04 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

First is always difficult. Practice makes perfect. Gwencana, semua baik-baik saja. Tidak apa-apa berbuat salah, asal kamu bisa mengambil pelajaran dan tidak mengulanginya lagi.

---

Sore hari ketika masa community medicine di Jombang, saya sedang bersama kawan saya Irma, membahas kegiatan selama di Jombang. Tiba-tiba hal ini terlintas di pikiran saya. “Irma, kenapa ya. Aku ngrasa meskipun udah lulus sarjana kedokteran, masih belum pede buat jadi dokter. Takut untuk melakukan sesuatu. Takut salah.Sehingga ketika kesempatan praktek itu datang, terlewat sia-sia.”

Saya mencoba menganalisis sendiri mengapa hal itu bisa terjadi. Flashback dengan kejadian di masa lalu saya. Pertama saat clerkship anak, saat sedang jaga bersama salah satu teman saya, Triana. Kebetulan saat itu dokter muda (DM) jaga pediatri sangat care, sehingga kami diajari untuk nebule serta observasi pasien. Kemudian ada salah satu pasien bayi yang memerlukan NG tube. Mbak DM tersebut menawarkan kepada kami untuk memasangnya. Saya sangat tertarik. Tapi saya takut karena saya baru melakukannya pada boneka, pada orang dewasa saja belum pernah, apalagi bayi? Nyali saya menciut. Kebalikannya dari Triana, teman saya tidak melewatkan kesempatan itu. Akhirnya dia berhasil memasang dengan supervisi dari mbak DM meski agak kesusahan. Saya sangat mengagumi keberaniannya. Sampai kemudian dia berkata, “Tip, aku gemeteran banget lho tadi masangnya. Anak bayi, pek” yang membuat saya terdiam. Dia sama takutnya dengan saya, tapi mengapa dia berani mengambil kesempatan sedangkan saya tidak?

Kemudian datang saat KKN liburan semester 6, ketika keompok saya mengadakan pengobatan gratis dan kekurangan dokter pada shift siang. Oleh teman sekelompok, saya dan Ayu didaulat untuk ikut memeriksa dan memberikan terapi dibawah supervisi dokter agar pasien tidak lama mengantri. Awalnya saya menolak. Saya belum pernah memeriksa dan memberikan terapi kepada pasien yang ‘sebenarnya’, saya takut salah memberi obat, salah dosis dan sebagainya. Namun atas motivasi dari teman-teman lain, saya menerimanya. Bismillaah.

Bingung. Sering konsultasi ke dokter. Deg-degan. Keringat dingin. Itulah yang saya alami ketika memeriksa dan memberi terapi pada pasien di pengobatan gratis. Lain halnya dengan Ayu teman saya yang terlihat lebih percaya diri dalam menghadapi pasien. Selesai pengobatan gratis, oleh dokter penanggung jawab kami diajak untuk mereview pasien-pasien yang tadi diperiksa, dilihat dari status pasien tersebut. Mulai dari keluhan, terapi hingga edukasi. Ketika inilah saya kembali terkejut. Karena ternyata apa yang dilakukan Ayu tidak jauh berbeda dengan saya. Dia juga masih menerka-nerka dan masih banyak yang perlu dibenahi. Namun dia berani mencoba, sangat berbeda dengan saya. Salah satu teman KKN saya akhirnya memberitahu, “Fid, kamu kenapa nggak mau meriksa sama ngobatin pasien? Ayu lho juga sama belum bisa nya. Dia sendiri yang cerita ke aku. Kalau dia sebenarnya belum bisa, tapi dia berani nyoba biar dia jadi bisa dan banyak pengalaman.” Saya semakin bertanya-tanya, mengapa saya takut mencoba?

Suatu kali dosen saya, dr. Isnu spesialis paru, pernah berkata, “First is always difficult. Pasti itu. Tapi harus dilakukan, karena sekali mencoba, kamu akan bisa belajar untuk langkah selanjutnya”. Kemudian dr. Ivan, dosen pembimbing Puskesmas, juga pernah berkata, “Jangan takut untuk salah. Namanya lagi belajar, salah itu wajar. Nanti kamu akan dibimbing, tahu mana yang benar, sehingga tidak mengulangi kesalahan itu lagi.”

Saya rasa, apa yang membuat saya takut untuk mencoba karena saya masih takut salah. Takut dengan apa yang akan dikatakan orang lain ketika saya salah. Takut dimarahi karena salah. Mental saya belum kuat untuk memproses respon negatif menjadi suatu motivasi sehingga dapat memperbaiki diri. Padahal dimarahi orang lain itu hal yang biasa, siapa yang tidak pernah kena marah? Bukankah ketika orang lain itu marah, berarti mereka masih peduli dengan kita. Akan sangat menyedihkan sekali ketika kita melakukan kesalahan, orang lain hanya diam. Tidak peduli dengan apa yang kita lakukan.

Apa yang saya lakukan sekarang, berusaha untuk menguatkan hati. Agar bisa memproses segala hal menjadi motivasi, mengatasi ketakutan yang ada dalam pikiran, berkata kepada diri sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. Gwencana. Sejatinya orang yang marah padamu adalah orang yang menyayangimu.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun