Memasukin stase besar pertama : pediatri. Berdasarkan pengalaman kakak kelas, pediatri adalah stase besar paling 'nggak banget'. Dengan lingkungan yang tidak mendukung untuk belajar karena katanya, ppdsnya pelit berbagi ilmu. "Baca sendiri, Dek" adalah kata-kata favorit yang terlontar saat sang koas menanyakan mengapa ini, mengapa itu. Kehororan pediatri ditambah dengan adanya dosen-dosen penguji killer yang bikin semangat layu sebelum berkembang. Well, benarkah?
Stase pediatri pertama dimulai di bagian respirologi. Tugas koas setiap hari adalah : nebul suction. Jadi kalo ditanya, apa keahlian kalian setelah lulus stase pediatri? Nebul suction plus kemput-kemput :D
Eh. Kata siapa ppdsnya pelit ilmu? Justru malah saya dan teman sekelompok ditanyain, "mau tanya apa , Dek? Kalo saya bisa jawab, ya saya jawab, kalo nggak, mari kita cari jawabannya bersama-sama"
FYI, selama di pediatri, pakailah masker. Virus dan bakteri di pediatri itu super ganas. Saya batuk pilek panas sejak awal di pediatri, dan baru sembuh setelah lulus pediatri -_-
It was really heartbreaking. Ngliat anak-anak bayi, balita, sudah familiar dengan infus, darah dan jarum suntik :( Banyak diantara mereka yang di rumah sakit nggak hanya satu-dua hari. Tapi berbulan-bulan karena terkena kanker. Bahkan merayakan ulang tahun di rumah sakit.
Setiap kali jaga ruangan pediatri, entah mengapa, selalu ada tekanan mental yang berat. Pasien sebanyak itu, yang satu lantai mungkin ada 100 pasien, yang kalo kita kelewatan observasi, bisa gone sewaktu-waktu. Pengen tidur, pengen banget. Tapi saya ga sanggup nanggung rasa bersalah kalau pasien itu kenapa-kenapa dan saya tidak tahu padahal itu tanggung jawab saya. Jadi doa setiap jaga adalah, "Ya Allah, berilah kesehatan anak-anak yang sedang sakit, lindungilah mereka dari kealpaan ilmu hamba".
Dua hal yang paling saya ingat ketika di pediatri. Pengalaman pasien yang meninggal waktu saya jaga dan pasien yang kasusnya saya ikuti bersama teman kelompok, yang juga dipanggil oleh Allah SWT.
Malam pukul 12.00 waktunya observasi. Pasien itu adalah pasien dengan ALL (Acute Lymphoblastic Leukemia) dengan perdarahan profus. Dia amat gelisah, tidak ingin diperiksa. Merengek-rengek ke ibunya minta pulang, tidak mau di rumah sakit. Sang ibu berusaha menenangkan anaknya, bahwa saat itu sedang tengah malam, tidak bisa pulang.
Seorang perawat senior juga mendampingi, berkata bahwa mobilnya sedang disiapkan untuk pulang, dan baru bisa pulang besok pagi. Melihat hal tersebut, firasat saya tidak enak. Saya terngiang-ngiang perkataan dr. Retno diawal stase. "Kalau ada perawat bilang, mbak/mas DM, pasien itu observasi yang ketat ya. Pasien e ga enak, kamu harus benar-benar observasi ketat. Karena mereka sudah jauh berpengalaman. Tau mana pasien yang gawat." Saya ngantuk. Pengen tidur. Tapi feeling sudah nggak enak. Jadi saya duduk di meja perawat dekat dengan bed pasien itu. Dia masih tidak mau diperiksa. Masih dibujuk-bujuk oleh ibunya agar tenang. Lama kelamaan, dia sudah tidak merengek-rengek lagi.
Pukul 01.30, tiba-tiba salah satu keluarganya panik mencari dokter & perawat. When I looked at her, my heart skips a beat. I've been in forensic, seeing dead people. Just like what I saw. "Gimana aku ngomong ke ppds nya?" Badan saya menggigil. Saya bener-bener bingung, shocked. Jadi saya lapor ke ppds, "Dok, pasien A badannya dingin" Dia berlari ke bed pasien, berkata bahwa pasien tersebut belum meninggal, dilakukan resusitasi. Namun sang ibu menolak, "Dok, sudah..biarkan saja dia pergi...kasihan dia kalau ditahan-tahan..sudah Dok, sudah..saya ikhlas.."
Di lain waktu ketika ada seorang bayi meninggal, sang ibu berkata, "maaf ya nak..maafkan ibu yang ga bisa ngerawat kamu..ibu nggak tega kamu sakit kaya gini terus..maafkan ibu, nak..."
I love you, Mom.
Di pediatri, setiap kelompok kecil diminta mencari satu kasus untuk didiskusikan bersama dosen. Saat itu kami mendapat tema kasus hematologi dan membahas pasien hiperleukositosis. Pasien kami anak besar, sekitar 12 tahun, jadi sudah sangat kooperatif untuk diperiksa. Tak jarang dia mengajak kami bercanda. Saat itu dia akan dilakukan BMA (Bome Marrow Aspiration) atas indikasi kecurigaan adanya ALL. Setelah itu hampir setiap hari kami bertemu dengan dia serta keluarganya. Dia tidak tampak seperti anak yang sakit, justru kami sering tertawa bersama. Kemudian kelompok kami pindah stase, tidak lagi di hematologi. Akan tetapi pasien kami masih opname. Saya sedang jaga UGD bagian anak saat teman sekelompok saya memberi kabar bahwa pasien tersebut meninggal dunia akibat perdarahan yang banyak. Pukul 5 sore dia alih rawat ke ruang perawatan intensif, pukul 18.30 dia mengalami henti jantung dan dilakukan resusitasi, sampai akhirnya pukul 19.00 dia dinyatakan meninggal dunia. Ketika itu saya kaget, ya Allah. Pasien saya, padahal kami masih bercanda, padahal dia masih tertawa. Mengapa begitu cepat? Dia masih muda, masih belia. Tapi sungguh, tak ada yang begitu cepat. Saat saya hampir menangis, tiba-tiba saya disadarkan oleh teman saya. Bahwa itu adalah hal terbaik yang Allah beri untuk dirinya.
Ketika pada akhirnya saya berkesempatan untuk memasuki ruangan transfusi untuk anak-anak penderita kanker, saya tertegun. Ya Allah, mereka anak-anak yang sangat kuat. Saya tidak yakin apabila diberi cobaan yang sama, saya akan bisa setabah mereka. Para pasien kemoterapi dengan rambut rontok dan memakai topi, tersenyum malu-malu saat diperiksa dokter. Tidak apa-apa, Nak. Kami ada disini untuk kalian.
Terima kasih sudah memberi kami ilmu yang tak tergantikan. Terima kasih sudah mengajarkan kami apa itu kesabaran. Terima kasih, karena sudah ada di dunia ini dan memberi kami panutan untuk lebih kuat menjalani kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H