[caption caption="Pict : Jepretan sepanjang Sanga - sanga sampe kutai kertanegara"][/caption]Beberapa bulan yang lalu, lahan gambut masih berasap membara dibawahnya berbatubara. Membuka mata untuk berbincang tentang kanal - kanal lahan gambut. Sering pula sengaja membakar untuk mempermudah konversi lahan, dari yang mulai tersuksesi sampai terestorasi. Sebagai kalifah sekaligus pemanfaat sebesar - besar kemakmuran rakyat boleh apa saja memperlakukan bumi, memblasting, membakar kemudian mengambil isi perutnya atau menanaminya dengan tanaman yang lebih menguntungkan perut.
Meskipun terkadang tanah ini merasa luka, karena pilih kasih dengan unsur tertentu saja untuk melayani tumbuhan sawit, bertahun - tahun sampai konsesi habis, sampai kesadaran bersama menghilangkan ketergantungan terhadap alam itu. Karena benar - benar miskin hara, tandus dan kering atau menganga dengan kedalaman puluhan meter, bukan danau - danau yang indah, tetapi tanah asam yang siap menelan apa saja. Konon Reklamasi jauh lebih mahal dari menambang itu sendiri.
Kapital luar biasa menjadi panglima, laut-laut tempat bermuara sungai-sungai yang membawa endapan subur, Mangrove-mangrove tempat berburu kepiting, kerang dan udang. Tempat beranak pinak ikan - ikan untuk sumber protein, melindungi air darat supaya tetap tawar, menyerap banyak racun logam berat, mangrove itu menjadi signifikan menyusut tergantikan gedung apartemen kawasan elit, taman rekreasi laut yang tidak mungkin dimasukin ketinting nelayan lokal. Diuruk karena biayanya lebih murah daripada beli didaratan, toh katanya lautnya kan sudah tercemar, sekalian saja diuruk, biar saja pergi ikan - ikan kecil itu.
Sekarang air mulai mengalir, tidak mau berlahan saja, tanah - tanah padat tak berpohon mengantarkan ke cerukan yang lebih rendah membawa endapan yang kadangkala longsor. Banjir disana dikarenakan drainase tidak baik, banjir disini karena dihulu pohonnya tak mampu menyerap air lebih banyak, bah tumpa berhari - hari. Mau kelaut terhalang apartemen - apartemen itu, toh kita tahu air itu selalu ketempat yang paling rendah, lautan ....
Apartemen-apartemen itu bebas banjir, oleh engineer dibuat sedemikian hingga air dapat dengan mudah dikendalikan. Entah bagaimana mereka mendapatkan AMDAL reklamasi daerah pesisir tempat mangrove dan si ikan - ikan itu.
Tidak peduli bahwa alam tidak pernah terpisah satu sama lain saling berhubungan, jika ada yang terisolir maka siap - siap daerah lain yang mungkin tidak memiliki sistem drainase yang bagus, yang mungkin tidak mampu beli pompa pengendali akan menerima banjir ini dengan seikhlas - ikhlasnya.
Bagaimana lubang - lubang bekas tambang itu, ya sama saja lah... toh pohonnya sudah di 'land clearing' tidak mampu menyerap air dengan sebaik - baiknya, butuh diuruk lagi, ditanami cover crop, pohon perintis ahhh butuh bertahun - tahun, Air hujan tidak sabar untuk bertahan, biarlah sungai - sungai banjir kecoklatan membawa endapan yang jika miring sekali akan longsor. Yang ditambang disana yang banjir disini......ah akan sangat susah mencari siapa yang bertanggungjawab.
2010 moratorium illegal logging, 2014 ada UU Konservasi tanah dan air, Bapak dirjen bilangnya akan segera diimplementasikan, sungguh niat baik untuk ndak memberi kesempatan banjir atau asap membakar hutan. Akan terlindung dengan baik DAS, pesisir, hutan konservasi itu. Tapi agak tergelitik di pasal 29 tentang ukuran kearifan lokal. Lokal yang seperti apa, Asli putra daerah yang cepat - cepat membuat peraturan saat itu atau yang mana ...
Ya sudahlah .... Berharap kearifan lokal ya benar - benar arif, tanpa perlu mengganggu hutan, berpikir bukan sebesar kemakmuran satu generasi tetapi antar generasi dan terus menerus generasi dibawahnya.
Selamat datang Banjir!
Link: UU Konservasi Tanah dan Air
Pict : Jepretan sepanjang Sanga - sanga sampe kutai kertanegara