Sekelebat wajah melintas dalam angan, membuat memoriku tentang pertemuan singkat pagi tadi terkuak perlahan. Terlalu singkat namun telah terekam dalam memori begitu lekat. Kurasakan hangat menyusupi dada, menikmati sekilas rona merah jambu terbingkai di wajahnya, cahaya matahari yang cerah dan hangat kulihat terlukis di matanya.
Aku terlalu menyukai suaranya yang tegas membahana, lantang namun lembut, terutama ketika ia menyebutkan namaku. Menempatkan aku sebagai subject orang ketiga dalam setiap ujarannya. Ia berujar penuh rayu, terdengar menipu dan membuatku kerap tersipu, sekalipun dapat kuhitung berapa banyak ia menatapku saat bicara.
Entah seperti apa rupaku pagi itu tanpa make up dan gincu, bercampur rasa mual akibat angin pagi yang berlebihan menyusupi tubuhku. Rasa mual mendera hebat. Tak sempat sedikitpun menyapanya hingga ia berlalu. Tetapi, aku tahu dan bisa merasakan tatapannya yang lembut mengawasi gerakku dibalik lensanya.
Kini, bermandi temaram cahaya lampu di balkon, dengan riuh irama jangkrik terdengar sebagai backsound dan langit gelap nan pekat tampak menaungi, aku mengenangnya. Merenungi tiap getaran saat bersamanya, memaknai lebih dalam perasaan yang tersimpan, dan mencari tahu apa ini yang dinamakan jatuh cinta???
Jatuh cinta...? Entah kapan terakhir kali aku merasakannya. Rasa yang dahulu begitu pandai kumaknai lalu kuinterpretasi ke dalam bait-bait puisi. Itu dulu, dahulu sekali sebelum akhirnya aku bisa mengenal patah hati. Namun sangat asing bagiku kini.
Sepintas galau melanda. Mengaburkan rasa dan mengubahnya menjadi tuba. aku pantas dicerca untuk kemunafikanku atas cinta. Perasaan malu, takut dan bersalah telah lebih dulu mendominasi pikiranku. Seandainya aku punya pilihan?
Jakarta, 17 November 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H