Mohon tunggu...
Zafrania Rofah
Zafrania Rofah Mohon Tunggu... -

Masih belajar dan ingin terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi

saat terakhir

4 Desember 2010   10:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:02 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Terdiam aku sekarang, ditempat yang dulu pernah sejenak kita singgahi. Di tempat yang kupijaki kini, kuingat dulu kita duduk bersama, sepuasnya bercengkrama, tertawa, bahkan pernah sampai menangis hingga tak terasa cakrawala di ufuk timur tiba-tiba datang dan memisahkan kita. Maka setelah itu kau mengantarku pulang hingga ke depan pagar rumah. Kau tak pernah singgah, meski barang sejenak, kecuali untuk urusanmu yang bukan urusanku. Itulah dirimu… yang tak pernah benar-benar datang untukku.

Tempat ini masih persis dengan beberapa waktu yang lalu; asri, teduh, dan membuat siapapun yang datang enggan untuk beranjak. sangat lain dengan yang ada tepat dibelakang rumahku.

Langit kini tampak cerah, jelas menggambarkan wajah-wajah asing yang terpajang disekitarku. Tak ada yang menarik minatku, selain seorang gadis kecil, kutebak sekitar dua atau tiga tahun, berlarian mengitari sepasang manusia berlainan jenis yang saling berpegangan, berbentangan tangan, berputar-putar searah dan seirama bersama derai tawa. Entah ada hubungan apa diantara ketiga makhluk itu, aku enggan mereka-reka. Di luar atmosfir kesadaranku, ku lihat gadis kecil itu adalah diriku.

Sekejap aku bangkit dari pembaringan khayalku, aku berpijak tanah, menari-nari diatasnya, merasakan angin, debu dan hangat matahari sore mengguyuri tubuhku. Kuabaikan apapun yang kudengar, selain hati yang berteriak, dan memanggil-manggil sebuah nama. Nama yang lebih sering kusebutkan dalam hati. Aku tahu ia tak ada, dan tak akan pernah ada, makanya aku terus berteriak. Aku hanya ingin terus berputar, berlarian, seperti gadis kecil itu, bahkan kuacuhkan beberapa pasang mata yang menatapku, menganggapku aneh atau apa.

Aku memang aneh, lebih tepatnya sejak perasaan aneh itu muncul kerap kali aku bersamamu. Caramu berbicara dan menatapku mampu buatku berubah aneh. Memang kau tak begitu istimewa, namun aku yang justru merasa begitu istimewa dengan semua sikapmu.

“Mau kemana kita?” tanyaku saat itu.

“kita? Kamu yang mau kemana, manis?” jawabmu, tanpa bisa ku baca ekspresimu.

Ah, kau selalu begitu. Semua panggilanmu yang terdengar menipu selalu mampu buatku tersipu. Kemudian aku sadar, buat apa aku bertanya itu padamu. Toh membawaku pergi kemanapun kumau adalah pekerjaanmu.

“kita sedang menuju kampusmu, nona” ucapmu tiba-tiba.

“Oh no, please…”

“Mamamu memintaku begitu, jadi tak ada kompromi”

“aku lagi ga mood. Ayolah, tak usah dengarkan mama!”

“Mamamu yang membayarku”

“tapi kali ini aku yang akan bayar. Kau mau dua atau tiga kali lipat?, Jadi tak ada alasan kau menolak.”

“aku tak butuh uang.” kau tak bergeming, bahkan terus melaju lebih cepat. Aku agak geram menghadapi orang ini, tapi belum menyerah.

“lalu apa yang kau butuhkan?” godaku kemudian.

“kau sungguh ingin tau?”

“tentu.”

“sebisaku untuk lebih lama bersamamu, ” Terdengar lirih dan tulus,

aku juga inginkan itu,” aku membatin.

“ya sudah, sekarang berputarlah. Kau ikuti saja arahku dan kita akan tetap bersama-sama” aku mencoba memperjelas, dan ia tersenyum jenaka.

“kau memang belum mengerti” kau tersenyum membuatku malah terlihat bodoh.

“kalau begitu, cepat buat aku mengerti. Tidak usah bertele-tele.” Aku meraung dan memaki, tapi kau hanya diam dan melaju secepat angin hingga buat nafasku sesak.

Ah,,, aku agak lupa bagian selanjutnya, karena itu bagian dari memori yang selalu kucoba terbuang jauh, yaitu bagian ketika akhirnya kau membawaku ke tempat ini. Tempat terakhir yang kita singgahi, bahkan saat terakhir aku bisa melihatmu, mendengarmu bicara dan menyanyikan sebuah lagu untukku. Lagu yang akhirnya selalu kuputar berulang-ulang di kepalaku. Lagu yang sungguh mengisyaratkan keadaanmu saat itu. Yaitu, saat aku berdiri tepat di depan pagar rumahku untuk melepas kepergianmu, saat itu pula sebuah truk besar tiba-tiba menghantam keras motor yang kau tumpangi. Terlalu cepat, jelas dan nyata. kulihat tubuhmu terpelanting ke udara. Segera aku menghapiri, merengkuhmu erat-erat dan mengabaikan darah yang menempeli pakaianku. Tak tahu harus berbuat apa, aku hanya menggigil sambil terus-menerus memanggil namamu, berharap kau membuka mata atau hanya menyahuti panggilanku. Aku semakin meraung, ketika menyentuh pergelangan tanganmu dan tidak merasakan apa-apa disana. Kulitmu yang mendingin dan wajahmu yang memucat, menandaiku satu hal, bahwa inilah saat terakhirku dan kamu untuk bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun