Mohon tunggu...
Oom Roes
Oom Roes Mohon Tunggu... -

Lahir dan besar di Solo, sekolah di FE Undip Semarang dan University of Oregon, AS, bekerja di Bank BRI sampai tahun 2002, sekarang tinggal di Bintaro Jaya, Tangerang. Twitter @roesharyanto FB: Oom Roes

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Manusia Adalah Zoon Politicon

3 Agustus 2015   07:05 Diperbarui: 3 Agustus 2015   07:05 1163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya masih ingat waktu SMA dulu, ketika pertama kali mengikuti pelajaran Pengantar Ilmu Hukum. Topik yang dibahas ketika itu pengenalan konsep manusia adalah “zoon politicon” atau mahluk sosial. Intinya adalah, bahwa manusia tidak bisa hidup sendirian. Karena itu bersosialisasi dengan individu  lain merupakan suatu kebutuhan dan keharusan. Bisa di bayangkan jika manusia hidup saling berjauhan dan terisolir, mereka akan mengalami kesulitan dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya, dari kebutuhan yang paling pokok hingga kebutuhan-kebutuhan sekunder. Selain kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia yang terisolir juga kesulitan dalam melindungi dan mempertahankan diri dari bahaya. Kenyataan ini tidak bisa dibantah karena merupakan kodrat alam. Dalam dunia binatang konsep zoon politicon juga berlaku untuk beberapa species tertentu. Semut, tawon, monyet, gajah, singa, termasuk satwa sosial. Ular, harimau, termasuk binatang penyendiri atau soliter.

            Mungkin manusia, dengan uang atau kekayaan yang dimilikinya, bisa memenuhi segala kebutuhannya sendiri, tetapi dia tetap memerlukan kehadiran orang lain untuk bergaul, bersosialisasi, untuk menjadi bagian dari suatu kelompok. Untuk menjadi bagian dari kelompok manusia memerlukan suatu wadah yang dapat menghubungkannya dengan manusia lain atas dasar kesamaan dan kecocokan.  Seperti kesamaan pola pikir, hobi, asal usul, almamater dan kesamaan-kesamaan lainnya yang dapat ditemukan pada manusia lainnya.  Hingga akhirnya lahirlah komunitas-komunitas  yang merupakan wadah yang dapat  menampung  keinginan, hobi ataupun pola pikir, di mana mereka dapat saling berbagi dalam kesamaan dan berinteraksi. Maka banyak ditemukan grup-grup seperti ikatan alumni, arisan keluarga, klub-klub  olah raga, peguyuban-peguyuban daerah tertentu. Komunitas-komunitas semacam ini bagus sepanjang tidak terlalu mengunggulkan primodialisme, yang menganggap warga dari kelompoknya saja yang paling baik. Akibatnya yang terjadi justru malah friksi dan perpecahan antara kelompok-kelompok sosial.

        Untuk beberpa etnis tertentu kebutuhan untuk bersosilaisasi atau affection need ini sering sangat kuat, bahkan mengalahkan pertimbangan ekonomi atau materi lainnya. Dalam tulisan saya di Warta Pamitran, majalah pensiunan BRI Jogya, pernah saya singgung, bahwa orang Jawa termasuk kelompok yang affection need-nya sangat tinggi.  Sehingga dulu sampai ada pameo : Mangan ora mangan waton kumpul. Artinya, mereka bersedia kekerja dengan upah yang lebih rendah asal di tempat kerja tersebut banyak orang Jawanya. Berbeda dengan orang Padang, mungkin pameonya lebih baik merantau daripada dirumah kumpul keluarga tapi tidak bisa makan. Saya termasuk yang mempunyai kebutuhan sosial yang tinggi. Ketika awal-awal mencari kerja dulu, target pertama saya melamar ke kantor akuntan Utomo-Mulia, karena disana sudah ada Purwanto dan Witono, teman kuliah di Undip. Saya tidak terlalu mempertimbangkan gaji, yang penting kumpul teman-teman dulu.

           Anak-anak jaman dulu dan sekarang berbeda. Dulu, hampir tidak ada anak yang bisa bermain sendiri. Keterbatasan mainan anak-anak, karena tidak tersedia atau tidak mampu membeli, memaksa mereka harus keluar rumah untuk mencari teman agar dapat bermain.  Permainan-permainan seperti : jamuran, gobag sodor, delikan, bal-balan, kasti, engklek, cublak-cublak suweng, semuanya adalah permainan sosial.  Kegiatan ini membuat anak-anak lebih cepat berkembang secara sosial, mandiri dan peka terhadap masalah-masalah yang terjadi dilingkungannya. Strata sosial, agama, suku tidak memjadi penghalang bagi mereka untuk berinteraksi, karena baik yang kaya maupun yang miskin memerlukan orang lain untuk bermain.

             Anak-anak sekarang disediakan mainan yang berlimpah oleh orang tuanya. Lebih-lebih lagi dijaman serba gadget ini anak bisa bermain sediri dengan komputer, ipad, smartphone  berjam-jam tanpa harus keluar kamar. Yang kurang beruntung dengan dengan mainan anak-anak masih bisa nonton TV. Orang tua, yang kebanyakan dua-duanya bekerja, merasa ini adalah pengaturan yang terbaik, daripada keluar rumah tidak ada yang mengawasi, tidak karuan pergaulannya. Akibatnya, anak-anak tidak terpenuhi affection need-nya dengan baik.  Mereka menjadi anak-anak yang tertutup, kurang ramah terhadap lingkungan, karena selama ini merasa bisa hidup sendiri. Kedewasaannya juga sering terlambat, terutama yang apa-apa selalu dilayani suster. Cucu-cucu saya, sudah berumur 10 tahun sering mandi masih harus dimandiin, makan harus disuapin. Padahal kalau disuruh main  komputer jago sekali. Saya masih ingat  ketika masih umur 5 tahun dulu. Kalau lapar langsung ambil piring sendiri, minta makan. Seharian main diluar, pulang-pulang kalau sudah hampir magrib.

           Ketika kita masih aktif dulu, seharian kita sibuk bekerja, selalu ketemu dan berinteraksi dengan orang lain. Di akhir pekan banyak yang masih bersosialisasi, apakah golf, tenis, jalan kaki atau naik sepeda. Affection need otomatis terpenuhi karena status sosial kita yang masih bekerja. Kita tidak pernah menyadari arti pentingnya silaturahim,    karena setiap hari selalu bersilaturahim. Sesudah pensiun, waktu menjadi longgar tetapi kegiatan menjadi berkurang, terutama kegiatan yang memungkinkan kita berinteraksi dengan orang lain. Kita membicarakan mereka yang sudah total pensiun. Kalau yang bekerja lagi atau mempunyai bisnis ini namanya bukan pensiun total. Nah disini kita harus pandai-pandai mengisi kegiatan dan mencari aktivitas agar affection need kita tetap terpenuhi, karena ini memang salah satu kebutuhan dasar manusia. Apalagi kalau anak-anak sudah mentas (mandiri) semua, tinggal kita berdua dengan istri. Lu lagi lu lagi ketemunya.

          Saya masih ingat cerita Bp Soecipto Wijaya, salah satu senior saya di BRI yang menghabiskan masa pensiunnya di Batu, Malang. Beliau sudah merencanakan, kalau nanti pensiun akan mengelola kebun apel dan dikembangkan menjadi semacam agro wisata. Cita-citanya terlaksana, kebun apel berhasil dan sering mendapat kunjungan dari rombongan wisata, termasuk BRI. Namun ini hanya bertahan 4-5 tahun. Kebun apel masih terus berbuah, tetapi beliau merasa bosen, jenuh, dan yang lebih berat adalah kehilangan kontak dan affection dari komunitasnya. Tidak mengherankan, memang kita ini pada dasarnya bankir bukan petani. Banyak teman-teman yang baru beberapa tahun pensiun nampak jauh lebih tua, walaupun secara finansial tidak ada masalah. Salah satu penyebabnya mungkin terputusnya tali silaturahim setelah pensiun.  Saya pernah tinggal di Amerika selama 3 tahun. Dari segi materi memang lebih enak. Gaji cukup, rumah bagus, negaranya serba teratur, bersih, aman. Ada satu yang saya kehilangan, kesempatan bersosialisasi. Tidak ada kegiatan yang sifatnya kumpul-kumpul, kongkow-kongkow, arisan keluarga seperti di Indonesia. Mereka, baik karena individualisme atau iklim yang kurang mendukung, menghabiskan waktunya di rumah dengan menonton TV. Dalam satu tahun, mungkin hanya dimusim panas saja mereka bebas beraktivitas diluar rumah tanpa gangguan cuaca dingin. Manusia memang berbeda-beda. Ada yang bisa dan betah mengurung diri dirumah tidak ketemu orang. Namun sebagian besar masih menginginkan untuk tetap bisa bersosialisasi dengan orang lain.

          Mungkin perlu penelitian hubungan antara silaturahim dengan proses penuaan. Tenaga pengajar, artis, awet muda karena selalu ketemu orang. Sebaliknya pelukis, cepet tua karena betah berhari-hari di studio tanpa ketemu orang. Saya pernah dikenalkan dengan pamannya pak Sarwono, mantan direktur BRI. Usianya sudah diatas 100 tahun, namun masih kelihatan muda dan mampu kemana-mana menyopir sendiri Jeep Toyota Hardtop tahun 70-an. Ketika saya tanyakan apa rahasianya, dengan setengah  berkelakar dia menjawab : “Mungkin bapak menduga saya kawin lagi dengan gadis yang masih muda. Tidak pak. Rahasianya, saya selalu menggunakan waktu luang saya untuk ketemu orang, bersilaturahim.” Agama kita mengajarkan untuk jangan memutus tali silaturahim. Banyak manfaat yang  kita peroleh dari silaturahim. Saya sangat percaya, salah satunya membuat kita awet muda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun