Mohon tunggu...
Oom Roes
Oom Roes Mohon Tunggu... -

Lahir dan besar di Solo, sekolah di FE Undip Semarang dan University of Oregon, AS, bekerja di Bank BRI sampai tahun 2002, sekarang tinggal di Bintaro Jaya, Tangerang. Twitter @roesharyanto FB: Oom Roes

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kenangan 17-an: Ayahku Membantu Belanda

17 Agustus 2012   00:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:38 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13452456111808194862

[caption id="attachment_207383" align="aligncenter" width="300" caption="ada.blog.com"][/caption]

Menjelang hari 17 Agustus biasanya di TV sering diputar film-film tentang perjuangan kemerdekaan. Hal ini mengingatkan pengalaman masa kecil ketika menemani ayahku bekerja di markas militer Belanda memperbaiki persenjataan tentara KNIL (Koninklijke Nederlands-Indische Leger). Mungkin perlu sedikit saya ceritakan siapa ayahku. Ayahku adalah seorang tehnisi yang komplit, walaupun hanya berpendidikan sekolah rakyat (bukan HIS), secara otodidak menguasai mekanik, elektronik dan alat-alat presisi. Jadi ayahku bisa memperbaiki mesin mobil, mereparasi radio dan membetulkan jam.

Sebelum kemerdekaan ayahku tinggal di Surabaya, bekerja di pelabuhan sebagai tehnisi komunikasi. Waktu itu orang-orang menyebutnya bekerja di marine. Sebagai tehnisi komunikasi tugas ayahku memeriksa peralatan komunikasi setiap kapal yang masuk ke pelabuhandan memperbaikinya kalau ada yang rusak. Mungkin karena langkanya tenaga dengan kualifikasi seperti ayahku, dia dibayar setara tenaga bangsa Belanda. Gajinya tentunya besar sekali kalau dibandingkan dengan gaji pegawai pribumi lainnya. Dengan gajinya, tanpa harus korupsi, ayahku bisa membeli rumah, membuka toko yang menjual alat-alat rumah tangga, termasuk tentunya radio dan jam. Menurut cerita ibuku, kehidupan waktu itu sangat enak sekali. Aku sendiri tidak ingat karena aku baru dilahirkan tahun 1945. Setelah kemerdekaan ayahku sering bernostalgia betapa enaknya hidup di jaman “normal” dulu.

Pada bulan Nopember 1945, ketika tentara Inggris masuk ke Surabaya dan terjadi perang besar dengan pejuang Indonesia, ayahku memutuskan untuk mengungsi ke Solo. Seluruh harta benda, rumah dan toko ditinggalkan begitu saja. Jauh sebelumnya ayahku memang sudah membeli rumah di Solo, ditunggui nenekku, sebagai persiapan kalau sewaktu-waktu pecah perang. Di Solo ayahku bergabung dengan pejuang TNI. Sesuai dengan keahliannya, ayahku tidak ikut berperang tetapi dibidang peralatan. Di Batujamus, sebuah desa dilereng gunung Lawu diwilayah Sragen, sebuah pabrik karet disulap menjadi bengkel perbaikan senjata dan penyediaan amunisi untuk tentara-tentara pejuang. Seluruh keluarga ikut tinggal di Batujamus. Sampai sekarang saya tidak mengerti mengapa tentara Belanda tidak pernah menemukan lokasi ini.

Dengan beberapa perjanjian sebelumnya, seperti perjanjian Renville dan Roem-Royen untuk sesaat perang mereda dan kami sekeluarga kembali ke Solo. Ketika Belanda mengingkari perjanjian, terjadi perang lagi yang dikenal dalam sejarah sebagai Agresi Militer Belanda ke 2. Ayahku tidak sempat pergi lagi, jadi hanya dirumah dan menyambung hidup dengan menerima reparasi radio. Oh ya, rumahku di Purwosari sangat dekat dengan markas militer Belanda. Tidak diperlukan waktu lama Belanda segera mengetahui apa keahlian ayahku. Jadi, kalau Belanda mendapatkan kesulitan dengan peralatan militernya, ayahku akan di-“ambil” diminta untuk memperbaikinya. Yang saya senang, setiap kali pulang dari “dinas” ayahku selalu membawa oleh-oleh roti tawar, mentega, keju dan sarden. Makanan-makanan seperti itu sungguh sangat mewah waktu itu.

Dalam beberapa kesempatan saya suka dibawa ayahku bekerja di markas militer Belanda. Tidak banyak yang bisa saya ingat karena aku baru berumur 4 tahun, namun ada satu peristiwa yang masih saya ingat benar sampai sekarang. Waktu itu siang-siang seperti biasanya ayahku di-ambil untuk memperbaiki pelempar mortir yang rusak. Setelah selesai, oleh tentara Belanda segera digunakan untuk menembaki tentara pejuang yang bergerilya dipinggiran kota. Saya sempat melihat dihalaman markas bagaimana senjata-senjata itu memuntahkan pelurunya. Sungguh suatu pengalaman yang sangat menakjubkan.

Dengan dicapainya persetujuan meja bundar (KMB) tahun 1949, Indonesia memperoleh kemerdekaan penuh dan Belanda meninggalkan tanah air. Setelah penyerahan kedaulatan ayahku kembali berdinas di TNI dan menjabat sebagai Komandan Dinas Tehnik Tentara (DTT) di Solo dengan pangkat Letnan satu. Belakangan dinas ini berganti nama menjadi Dinas Peralatan Angkatan Darat (DPLAD). Pada waktu itu komandan militer kotanya (kalau sekarang Korem) Letkol. Soeharto, yang kelak menjadi presiden RI yang ke 2. Kami sangat dekat dengan keluarga pak Harto waktu itu. Saya masih ingat memberi oleh-oleh ke mbak Tutut burung parkit,yang banyak dipelihara ayahku, ketika mereka berkunjung ke rumahku.

Ayahku pensiun dari TNI tahun 1957 dengan pangkat terakhir Kapten dan wafat tahun 1970. Yang saya juga tidak mengerti sampai sekarang, mengapa ketika kembali bergabung dengan TNI ayahku tidak pernah diperiksa, diinterogasi atau dituduh sebagai penghianat. TNI atau intel-nya pasti mengetahui kalau ayahku pernah bekerja untuk Belanda, walaupun diluar kemauannya. Mungkin pernah diperiksa tapi ayahku tidak pernah cerita kepada anak-anaknya. Ditengah perayaan 17-an ini, kukirimkan doa kepada ayahku, semoga diampuni segala dosa-dosanya, diterima amal ibadahnya serta mendapatkan tempat yang sebaik-baiknya disisi Tauhan Yang Maha Esa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun