Untuk kesekian kalinya terjadi lagi penembakan polisi oleh rekannya sendiri. Apa yang sebenarnya terjadi di internal kepolisian? Di angkatan-angkatan TNI yang lain, yang juga sama-sama memegang senjata, jarang terdengar insiden semacam ini. Pasca reformasi, Polri berdiri sendiri, mempunyai anggaran sendiri, terpisah dari angkatan bersenjata RI. Dibanding dengan ketiga angkatan TNI yang lain, saya kira semua sepakat kalau sekarang Polri yang paling makmur. Tidak usah jenderal, kapolres saja kehidupannya sangat aduhai melebihi direksi bank BUMN. Tidak sedikit pejabat Polri yang memiliki rekening gendut. Pengertian gendut, kira-kira diatas 10 milyar lah. Ingat kasus simulator sim, dimana Irjen Djoko Susilo bisa mengumpulkan kekayaan sampai lebih 200 milyar. Tapi ini tidak semua, tidak merata. Yang kroco-kroco, yang tukang patroli, yang tugasnya menghadapi demo-demo, tetap susah hidupnya. Mereka ini yang harus selalu siap tugas lapangan, berpanas-panas menjaga keamanan, menghadapi aksi-aksi unjuk rasa, atau diterjunkan di daerah konflik. Resikonya kehilangan nyawa, atau kehilangan pekerjaan alias dipecat karena melanggar HAM karena salah tembak. Penghasilannya semata-mata hanya dari gaji. Brigadir dua, pangkat paling rendah Polri, hanya menerima gaji pokok Rp1,780.000,-.Ditambah tunjangan-tunjangan, mungkin bisa mencapai Rp3 juta per bulan. Apresiasinya hanya kenaikan pangkat anumerta kalau mereka gugur dalam menjalankan tugas.
Disisi lain untuk naik pangkat, untuk mengikuti pendidikan, untuk penempatan, semuanya mengeluarkan biaya yang besar. Sudah menjadi rahasia umum, mulai dari rekrutmen, mengikuti pendidikan, penempatan sampai kenaikan pangkatsemuanya harus pakai uang. Jadi kecemburuan sosial di internal Polri sangat tinggi. Mereka, para prajurit rendahan ini, tahu persis darimana bos-bosnya memperoleh tambahan penghasilan. Rasa semangat korps mungkin masih ada, tetapi mereka sudah tidak mempunyai respek lagi kepada atasannya. Semua ini dipendam saja, tidak pernah ada tempat penyaluran. Ketika bawahan dimarahi atasan, yang menurut mereka secara moral tidak lebih baik dari dirinya, kesalnya menumpuk-numpuk. Mungkin juga dia dirumah sedang mempunyai masalah sendiri, anaknya sakit, atau harus bayar SPP. (Menurut informasi, Brigadir Susanto, tersangka penembakan, sejak masuk tidak pernah dipindah-pindah dari bagian Yanma) Yang emosional dan bawa senjata.....yaa tembak saja. Pelakunya pasti segera ditangkap dan dihukum berat. Tetapi menghukum saja, tanpa pembenahan akar permasalahan tidak akan menyelesaikan masalah. Praktek-praktek diatas bukan monopoli Polri, di angkatan lain juga ditemui. Mungkin kesenjangannya tidak terlalu besar, sehingga tidak banyak terjadi atasan yang di door bawahannya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H