Mohon tunggu...
Oom Roes
Oom Roes Mohon Tunggu... -

Lahir dan besar di Solo, sekolah di FE Undip Semarang dan University of Oregon, AS, bekerja di Bank BRI sampai tahun 2002, sekarang tinggal di Bintaro Jaya, Tangerang. Twitter @roesharyanto FB: Oom Roes

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perlukah Perjanjian Pra-nikah?

19 November 2012   07:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:04 731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_224893" align="aligncenter" width="504" caption="Penyematan cincin (dok pribadi)"][/caption] Perkawinan merupakan ikatan antara dua individu, laki dan perempuan, untuk hidup bersama dibawah satu atap dalam waktu yang lama. Perikatan ini diharapkan dapat berlangsung langgeng dan kekal, bahkan sampai akhir hayat. Dari kacamata psikologi, harapan untuk bisa hidup bersama secara harmonis dalam waktu yang panjang nampaknya sulit dilakukan, karena kedua individu ini sebetulnya adalah pribadi yang berbeda. Perbedaan yang ada antara masing-masing individu bisa sangat ekstrem dan luas. Mulai dari perbedaan latar belakang keluarga, sosial, suku, agama, antar bangsa dls. Keluarga pendidik bertemu dengan keluarga pedagang, anak ulama kawin dengan anak polisi, atau anak pejabat ketemu dengan artis sinetron, anggota DPR kawin dengan penyanyi. Perbedaan-perbedaan ini sering tidak dapat dicarikan titik temunya, sehingga ikatan perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi alias harus berakhir dengan perceraian walaupun sebetulnya masih cinta Satistik perceraian di Amerika menunjukkan bahwa pasangan yang usia perkawinannya bisa mencapai tahun ke 5, 10, dan 15 masing-masing adalah: 82%, 65% dan 52%. Artinya, satu dari setiap lima perkawinan berakhir dengan perceraian sebelum melewati tahun ke lima. Kemudian satu dari setiap tiga perkawinan bisa mencapai tahun ke 10, dan hanya satu dari dua perkawinan yang dapat sampai berusia 15 tahun. Di Indonesia belum ada angka-angkanya, namun nampaknya tren-nya semakin meningkat, khususnya dikalangan artis,  selebrities atau pasangan yang bekerja (working couples). Ketika suatu perkawinan harus berakhir dengan perceraian maka banyak masalah-masalah yang harus diselesaika oleh kedua pasangan. Pertama, masalah pemberian nafkah kepada istri sesudah perceraian (alimony). Biasanya diputuskan separo dari penghasilan suami harus diserahkan kepada mantan istri untuk biaya hidup bersama anak-anaknya. Ini umumnya berlaku untuk suami yang bekerja dengan penghasilan tetap setiap bulannya. Bagaimana kalau sang suami seorang pengusaha yang sukses dengan penghasilan ratusan juta? Tentu rumus separo penghasilan suami untuk mantan istri tidak berlaku. Sang suami jelas keberatan. Nah, pengadilan agama akan memberikan kesempatan kepada kedua pasangan untuk merundingkan berapa jumlah yang pantas yang disepakati oleh kedua belah fihak. Apabila tidak dicapai titik temu maka pengadilan yang akan memutuskan jumlah yang wajar, cukup untuk mempertahankan tingkat hidup seperti gaya hidup sebelum terjadi perceraian. Masalah kedua adalah mengenai hak asuh anak, kalau mereka dikaruniai anak. Sang ibu biasanya bersikeras bahwa dia lebih berhak atas hak asuh anak. Sang suami demikian pula, tidak mau jalinan kasih saying dengan anak-anaknya tercabut begitu saja. Sebagaimana masalah diatas, kedua fihak disarankan untuk merundingkan tentang pembagian hak asuh anak-anak. Kalau tidak tercapai kesepakatan maka fihak pengadilan yang akan memutuskan. Biasanya hak asuh, demi masa depan pendidikan dan pertumbuhan jiwa anak-anak, akan diberikan kepada sang ibu. Namun tidak selalu demikian. Kalau pengadilan menilai bahwa sang ibu mempunyai kebiasaan yang membahayakan pertumbuhan dan pendidikan anak-anak, seperti pecandu narkoba, pemabok atau penjudi, maka hak asuh akan diberikan kepada sang ayah. Masalah ketiga yang tidak kalah pentingnya adalah masalah pembagian harta “gono-gini”, yaitu harta yang diperoleh sesudah perkawinan. Menurut undang-undang di Indonesia, juga dinegara-negara lain, apabila terjadi perceraian harta “gono-gini” dibagi dua antara suami dan istri. Sedang harta bawaan, yang sudah dimiliki masing-masing fihak sebelum pernikahan, tetap menjadi milik masing-masing fihak. Untuk pasangan dengan kekayaan yang sedang-sedang saja, misalnya “hanya” memiliki dua rumah dan dua mobil, mungkin pembagain harta “gono-gini” tidak terlalu memberatkan. Tinggal mobil dan rumah dibagi dua, masing-masing memperoleh satu rumah dan satu mobil. Bagaimana kalau harta “gono-gono”-nya mencai $1 milyar? Tentu terasa berat sekali bagi sang suami untuk menyerahkan setengah milyar dollar kepada mantan istri. Tidak jarang suami menjadi bangkrut sesudah perceraian karena harus melikuidasi asset-aset produktifnya untuk membayar pembagian “gono-gini’. Raja golf Tiger Woods membayar $100 juta dan alimony $20,000 per bulan untuk Elin, bekas istrinya. Aktor laga terkenal, Arnold Schwarzenegger, harus merelakan pembayaran sebesar $350 juta kepada Maria Shriver, mantan istrinya. Melihat runyamnya permasalahan yang bisa timbul sebagai akibat perceraian, khususnya untuk pasangan-pasangan kaya, maka dinegara-negara maju banyak dibuat perjanjian pra-nikah atau prenuptial agreement.(PA) Sesuai namanya, perjanjian pra-nikah adalah perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan. Perjanjian pra-nikah berisi pengaturan selama perkawinan sampai kepada hal-hal jika perkawinan harus berakhir. Kepemilikan harta benda, pengaturan keuangan, pertanggungjawaban hutang piutang dalam perkawinan, bahkan juga bisa dimasukkan klausul jika sampai terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Di Indonesia PA belum populer, walupun untuk sementara kalangan sudah mulai mempraktekkan. Faktor agama, budaya dan nilai-nilai sosial tentang makna perkawinan yang membuat orang merasa kurang etis membuat suatu PA. Namun melihat cakupan PA, sebetulnya PA ini menjadi semakin penting sebagai asuransi perlindungan bagi kedua belah fihak. Ingat, PA tidak hanya melindungi istri dan anak, tetapi juga melindungi suami dari perempuan yang memanfaatkan lembaga perkawinan hanya untuk mengejar kepentingan materi. 10 atau 20 tahun setelah perkawinan kita tidak tahu secara materi dan ekonomi akan seperti apa keluarga kita. Ketika masih miskin mungkin tidak akan terfikirkan masalah-masalah diatas akan timbul. Tetapi setelah kayaraya bisa jadi menyesal, mengapa dulu tidak membuat PA. Untuk kalangan selebrities, dimana tingkat perceraiannya relative tinggi, PA mutlak diperlukan. Masing-masing fihak umumnya sudah mapan secara ekonomi dan mempunyai potensi untuk menjadi lebih kaya lagi. Disisi lain resiko kegagalan perkawinan sangat tinggi. Tanpa PA maka perkawinan menjadi ajang untuk saling menggerogoti kekayaan masing-masing. Akhirnya kita kembalikan kepada calon pasangan mempelai, apakah perlu membuat perjajanjian pra-nikah sebelum melangsungkan perkawinan. Secara hukum agama (UU Perkawinan th 1974) maupun Hukum Perdata tentang perikatan, dimungkinkan untuk membuat perjanjian pra-nikah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun