Mohon tunggu...
Oom Roes
Oom Roes Mohon Tunggu... -

Lahir dan besar di Solo, sekolah di FE Undip Semarang dan University of Oregon, AS, bekerja di Bank BRI sampai tahun 2002, sekarang tinggal di Bintaro Jaya, Tangerang. Twitter @roesharyanto FB: Oom Roes

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sebetulnya Masih Cinta dan Sudah Ada Anak, Tapi ... (2)

22 September 2012   10:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:00 1336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_213999" align="aligncenter" width="541" caption="keluarga bahagia : idiotz-inside,blogspot.com"][/caption] Teman-teman kompasianer kita lanjutkan kupasan kita tentang langgengnya perkawinan. Bagi pembaca yang baru datang, silahkan simak tulisan kami sebelumnya tentang   perlunya tunangan Dari kacamata psikologi, yang lebih wajar sebetulnya ikatan perkawinan ini akan putus ditengah jalan, karena adanya berbagai perbedaan diatas. Satistik perceraian di Amerika menunjukkan bahwa pasangan yang usia perkawinannya bisa mencapai tahun ke 5, 10, dan 15 masing-masing adalah: 82%, 65% dan 52%. Artinya, satu dari setiap lima perkawinan berakhir dengan perceraian sebelum melewati tahun ke lima. Kemudian satu dari setiap tiga perkawinan bisa mencapai tahun ke 10, dan hanya satu dari dua perkawinan yang dapat sampai berusia 15 tahun. Di Indonesia belum ada angka-angkanya, namun nampaknya tren-nya semakin meningkat, khususnya dikalangan artis,  selebrities atau pasangan yang bekerja (working couples). Menurut data Departemen Agama, Indonesia berada diperingkat tertinggi yang memiliki angka perceraian paling banyak dalam setiap tahunnya, dibandingkan negara Islam didunia lainnya. Pada tulisan yang terdahulu  telah kita bahas fungsi pertunangan dalam mengatasi perbedaan-perbedaan. Kali ini kita akan membahas peran cinta, daya tarik phisik dan keberadaan anak-anak dalam mempertahankan keutuhan perkawinan. Peran cinta Untuk generasi kita, umumnya perkawinan dilandasi oleh cinta. Ada juga beberapa kasus dimana perkawnan tidak didasari cinta, misalnya karena dijodohkan, atau terpaksa karena sudah terlanjur tua daripada tidak kawin. Pertanyaannya: Perlukah cinta dalam menjalin hubungan suami istri dan membina rumah tangga ? Jawaban yang diterima biasanya adalah “perlu, bahkan mutlak!”. Tetapi sebagian antropolog berpendapat “penelitian terhadap sekian banyak masyarakat primitive membuktikan masyarakat tersebut tidak mengenal apa yang kita namakan cinta”. Tidak usah jauh-jauh, orang-orang tua kita dari generasi sebelum tahun 50-an banyak yang perkawinannya dijodohkan, jadi tanpa melalui proses cinta. Perkawinan ini langgeng, jarang sekali ada perceraian terjadi di perkawinan-perkawinan lama. Barangkali falsafahnya : lebih baik mencintai orang yang dinikahi daripada menikahi orang yang kita cintai.” Dikelompok etnis tertentu, seperti warga keturunan Arab, perkawinan diusahakan terjadi didalam kelompoknya. Laki-laki Arab masih bisa kawin dengan perempuan non-Arab, tetapi untuk perempuannya harus kawin dengan sesama Arab. Jadi, disini tidak ada kebebasan untuk memilih jodohnya atas dasar cinta. Apakah perkawinan yang dilandasai cinta lebih awet dibanding dengan perkawinan tanpa cinta? Belum ada penelitiannya. Mungkin ya, tetapi sekali lagi, cinta saja tidak menjamin langgengnya suatu perkawinan. Dari pasangan-pasangan yang berakhir dengan perceraian, sering terdengar ungkapan: “sebetulnya saya masih cinta, tapi nampaknya perbedaan diantara kita sudah tidak dapat dikompromikan lagi”. Jadi, cinta yang begitu kuat dan mendalam tidak bisa menghilangkan adanya perbedaan. Daya tarik fisik. Tidak bisa dipungkiri bahwa cinta diawali dengan ketertarikan fisik. Semua orang senang melihat dan memiliki sesautu yang indah dan cantik. Setiap orang ingin mempunyai istri/suami yang cantik/cakap, walaupun kecantikan itu relatif untuk masing-masing orang. Pepatah mengatakan “beauty is in the eyes of the beholder”, atau kecantikan itu tergantung dari siapa yang melihatnya. Salah satu kebutuhan dasar wanita adalah ingin tampil cantik. Wanita, dalam situasi apapun, ingin selalu tampak cantik dan menarik. Segala macam cara tersedia untuk membuat wanita tampil cantik. Mulai dari bedah plastik, vermaak hidung, sedot lemak, pasang susuk semuanya ada, asal kuat bayarnya. Di Amerika pernah ada suatu penelitian, pada masa resesi ekonomi salah satu industri yang tidak terpengaruh adalah industri kosmestik. Artinya, walaupun dalam keadaan ekonomi sulit wanita berusaha untuk tetap tampil menarik. Wanita juga ingin kelihatan cantik dimata suaminya. Tentu harapannya agar suami tetap sayang, betah dirumah dan tidak melirik wanita lain. Memang ada benarnya. Suami mana yang betah dirumah kalau setiap hari lihat istrinya awut-awutan, nggak menjaga badannya, nggak pernah dandan. Tetapi kecantikan saja tidak menjamin sang suami tetap setia dengan satu istri. Banyak suami-suami yang istrinya cantik-cantik tetap saja selingkuh. Ada ibu-ibu yang tiap tahun operasi plastik suapaya tetap cantik, masih saja ditinggal suaminya pacaran. Tamara Brezenky, Sofia Lajuba, Dewi Sandra, Halimah, kurang apa cantiknya. Toh perkawinannya juga kandas ditengah jalan. Mungkin diperlukan lebih dari sekedar kecantikan fisik untuk mempertahankan langgengnya perkawinan. Istilahnya sekarang “inner beauty” atau kecantikan yang memancar dari dalam. Bagaimana dengan anak-anak? Kehadiran anak sangat diantikan oleh semua pasangan. Saya kira ini sangat universal dan manusiawi, walaupun di negara-negara Barat ada juga aliran yang mau kawin tapi tidak mau punya anak. Suami istri mulai gelisah dan cemas, (termasuk kedua orang tua) setelah perkawinan berlangsung empat atau lima tahun tetapi belum juga dikarunia anak. Banyak pasangan yang harus bercerai dengan alasan tidak punya anak. Suami kawin lagi karena ingin punya keturunan. Biasanya yang selalu disalahkan fihak wanita, yang dianggap tidak bisa memberi keturunan. Sebetulnya kalau yang diinginkan adanya kehadiran anak-anak, masih ada jalan keluarnya. Misalnya dengan mengambil anak angkat. Lantas, kalau sudah punya anak banyak tentunya tidak akan bercerai, kalau anak merupakan salah satu tujuan perkawinan. Banyak perceraian tetap saja terjadi walaupun sudah dikaruniai anak banyak. Memang faktor adanya anak menjadi salah satu pertimbangan yang paling berat sebelum memutuskan untuk bercerai. Tetapi adanya anak-anak tidak menjamin bahwa perceraian tidak akan terjadi. Adanya anak tidak menghilangkan perbedaan yang ada diantara suami istri. Sumber konflik Adanya perbedaan-perbedaan diatas apabila tidak dikelola dengan baik akan menjadi sumber konflik dan dapat memicu perselisihan antar suami istri. Ketidaksepahaman dapat terjadi untuk masalah-masalah :

  1. Masalah keuangan, termasuk cara memperoleh dan membelanjakan penghasilan keluarga.
  2. Lingkungan pergaulan dan pertemanan suami atau istri. Suami yang dididik dengan aturan moral dan agama yang ketat, tidak bisa menerima pergaulan istri yang terlalu bebas diluar.
  3. Pendidikan anak-anak, misalnya dalam pemilihan sekolah ataupun cara medisiplinkan anak-anak.
  4. Persoalan hubungan dengan keluarga besar istri atau suami, seperti mertua yang terlalu ikut campur, saudara-saudara atau ipar yang terlalu sering minta bantuan dls.
  5. Persoalan pemilihan kegiatan rekreatif, minat terhadap kegiatan diluar rumah antar suami dan istri.
  6. Persoalan pembagian tugas domestik dan non-domestik antar pasangan.
  7. Aktivitas tertentu atau hobi dari salah satu pasangan yang tidak disukai oleh suami/istri. (minuman keras, judi, narkoba)

Sumber-sumber konflik diatas kalau tidak dapat dikelola dengan baik akan menjadi awal dari pecahnya suatu perkawinan. Mengelola perbedaan Jadi, dapat disimpulkan masa pertunangan, rasa cinta yang mendalam, daya tarik fidik, dan kehadiran anak-anak tidak akan menghilangkan adanya perbedaan antar pasangan. Perbedaan bukan untuk dipertentangkan, tetapi untuk dikelola dengan seksama. Perbedaan itu indah karena membentuk berbagai corak dan warna dalam suatu sinergi yang serasi. Cara mengelola perbedaan ialah dengan mencoba menghargai dan memahami cara berfikit fihak lain. Kita harus sadar bahwa istri atau suami adalah orang lain, dan akan tetap menjadi orang lain sampai kapanpun. Dalam berkomunikasi kita harus selalu mencoba menempatkan diri kita sebagai istri/suami kita untuk memahami mengapa dia berpendapat demikian atau mengambil tindakan tersebut. (put on someone else’s shoes) Komunikasi harus dilandasi kesetaraan, kejujuran, saling percaya dan menganggap istri/suami kita sebagai bagian dari team work. Dengan berjalannya perkawinan, diantara kedua belah fihak akan timbul rasa saling toleransi dan menghargai. Kunci dari kekalnya perkawinan adalah saling toleransi, saling menghargai dan memahami satu sama lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun