Nalar femenis merupakan cara pandang modern untuk menjelaskan tentang relasi gender antara perempuan dan laki-laki, yang meliputi aspek sosial dan spiritual. Dalam studi Islam nalar femenis ini bisa digunakan sebagai pendekatan untuk menggali dan mengetahui bagaimana Islam menempatkan derajat perempuan.
Oleh sebagian kalangan orientalis, praktek ajaran Islam seringkali dituduh tidak bersahabat dengan wanita, bahkan ada tuduhan yang bersumber dari pernyataan abad pertengahan di Barat bahwa wanita dalam Islam tidak memiliki jiwa. Anggapan itu menurut Annemarie Schimmel dalam pengantar buku ‘The Tao of Islam’ karya Sachiko Morata dikarenakan “sangat sedikitnya cendekiawan yang mencoba melihat apa yang ada di bawah permukaan, dan menemukan struktur yang tentunya akan mengejutkan mereka yang terbina dengan sikap negatif terhadap Islam”.
Cara pandang Barat dalam studi keilmuan seringkali mendominasi dan disamaratakan untuk menganalisa berbebagai hal, termasuk dalam mengkaji agama dan tradisi yang secara historis memiliki latar belakang berbeda dengan di Barat, sehingga jika digunakan pendekatan lain justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Hal itu ditunjukkan oleh Sachiko Morata dalam buku ‘The Tao of Islam’ dengan menjelaskan relasi gender dengan perspektif kosmologi Islam. Sebuah pendekatan yang kurang lazim atau relatif kurang dikenal oleh peminat kajian tentang Islam, khususnya di Indonesia.
Murata menegaskan bahwa tidak ada satu kata pun dalam nash-nash al-Quran yang tidak memiliki makna, karena semua itu berasal dari Tuhan, dengan menafsirkan secara lebih dalam, di luar tataran lahiriah yang relatif, segala sesuatunya pasti terkait dengan penciptaan kosmos dan pasti ada maknanya. Seluruh kosmos berasal dari Tuhan, maka Tuhan mencintai alam semesta,langit dan bumi awalnya adalah sebongkah utuh, lalu dipisahkan, maka langit mencitai bumi dengan curah hujannya, dari diri Adam dipisahkan hawa, maka Adam mencintai Hawa, begitupun Hawa akan mencintai Adam, karena Adam adalah tempat dimana ia berasal.
Begitulah menurut Morata, bahwa mejelaskan tentang prisip kesatuan dalam agama (Islam), yang memecah menjadi dualitas kemudian menjadi pluralitas yang kesemunya tidak akan bisa dipahami jika masing-masing saling dipertentangkan, termasuk diantaranya tentang posisi perempuan dan laki-laki. Hal ini tentu saja sangat berbeda dengan pendekatan eksistensialis di Barat yang dalam bentuk gerakan femenismenya pernah tampil sebagai gerakan anti laki-laki. Dalam konteks historis tertentu barangkali hal itu bisa dimengerti, meskipun tetap tidak bisa dibenarkan.
Dalam pendahuluannya Morata menuliskan “pandangan kultural Barat mengenai apa yang penting dalam hidup, adalah berbeda dengan pandangan tradisional Muslim atau orang Jepang. Ini bukan berarti kita harus tetap diam ketika melihat ketidakadilan di dunia ini, tetapi kita harus bertanya pada diri sendiri apakah kaca mata kultural kita memungkin kita untuk melihat sesuatu dengan benar. Walaupun kita sudah dapat melihatanya dengan benar, kita juga seharusnya bertanya, apakah analisis kita mengenai sebab-sebab ketidakadilan sudah akurat.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H