Tulisan ini menguraikan secara singkat dan umum tentang jenis hadis berdasarkan jumlah perawi dan kualitasnya. Diuraikan secara singkat dan umum karena keterbatasan waktu pembuatannya yang relatif singkat, sumber-sumber yang digunakan pun terdiri dari empat buku yang penulis dapatkan, semuanya berbahasa Indonesia. Sebenarnya, banyak sekali informasi yang bisa diakses dari internet terkait topik ini, tetapi hal itu tidak dilakukan karena proses verifikasinya menurut penulis lebih sulit.
A. Pembagian Hadis berdasarkan Jumlah Periwayat
Ulama hadis berbeda pendapat tentang pembagian hadis berdasarkan jumlah periwayatnya. Ada yang membagi menjadi dua, yaitu Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad. Ada juga yang membaginya menjadi tiga dengan menambah satu jenis yang disebut hadis Masyhur. Bagi ulama yang membagi pada dua jenis, hadis Masyhur dikategorikan sebagai bagian dari hadis Ahad. Pada uraian makalah ini, hadis Masyhur dikelompokkan pada pembahasan tentang hadis Ahad.
1. Hadis Mutawatir
Menurut bahasa, kata Mutawatir, berarti mutatabi' yaitu yang (datang) berturut-turut, dengan tidak ada jaraknya. Sedangkan hadis mutawatir menurut istilah ialah hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak dalam setiap generasinya, yang menurut adat tidak mungkin mereka berbuat dusta, dan mereka meriwayatkannya secara indrawi dan memberikan ilmu yakin. Selain itu, ada juga yang mendefinisikan Hadis Mutawatir ialah Hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta (jumlah banyak itu) sejak awal sanad sampai akhirnya. Ada lagi yang mendefenisikan hadis mutawatir ialah Hadis yang diriwayatkan banyak orang, dan diterima dari banyak orang pula, yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta.
Dari definisi tersebut maka terdapat beberapa ciri atau syarat yang bisa disematkan pada hadis Mutawatir, yaitu: diriwayatkan banyak orang, diterima banyak orang, tidak mungkin perawi yang banyak itu bersepakat untuk berdusta, dan hadis itu didapat melalui panca indra. Jika dilihat berdasarkan fungsi dari ilmu hadis yaitu untuk memberikan keyakinan atas berita atau hadis yang disampaikan periwayat, maka kedudukan hadis mutawatir telah tercapai dengan baik bahwa yang tergandung di dalamnya adalah benar-benar dari Rasulullah SAW.
Adapun hadis mutawatir ini umumnya dibagi kedalam dua kategori yaitu, mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi. Sedangkan M. Syuhudi Ismail menambahkan satu lagi yaitu mutawatir 'amali, yaitu amalan agama yang dikerjakan Nabi Muhammad lalu diikuti oleh sahabat dan seterusnya hingga sekarang, seperti waktu shalat, jumlah rakaat shalat, adanya shalat id, adanya shalat janazah dan seterusnya.
Mutawatir lafzhi menurut para ulama, jumlahnya sangat sedikit, bahkan menurut Ibn Hibban dan al-Hazimi hadis tidak ada. Al-Asqolani menolak pendapat ibn Hibban dan al-Hazimi, menurutnya pandangan yang demikian itu terjadi karena kurang mengetahui jalan-jalan atau keadaan-keadaan para rawi serta sifat-sifatnya yang menghendaki bahwa mereka itu tidak mufakat untuk berdusta. Salah satu contoh hadis mutawatir lafzhi yang sering dikutip yaitu "barang siapa yang dengan sengaja berbuat dusta atas namaku, niscaya ia menempati tempat duduknya dari api neraka". Berbeda dengan mutawatir lafzhi, muawatir maknawi tidak banyak diperdebatkan oleh ahli hadis, karena hadis ini relatif jauh lebih banyak dan lebih mudah dijumpai karena biasanya menyangkut aktifitas ibadah ritual.
Hadis-hadis mutawatir ini ini dapat diperoleh pada kitab-kitab hadis para ulama, tetapi untuk memudahkan memperoleh dan mengetahuinya terdapat ulama yang secara khusus menulis kitab hadis yang berisi hadis-hadis mutawatir, salah satu diantaranya ialah: al-azhar al-Mutanatsirah fi al Akhbar al-Mutanawatirah karya as-Suyuti yang di dalamnya memuat 112 buah hadis.
2. Hadis AhadÂ
Secara sederhana, yang disebut hadis ahad adalah hadis yang tidak mutawatir. Kata ahad adalah bahasa Arab yang berarti satu, maka pengertian hadis ahad adalah hadis yang disampaikan oleh satu periwayat. Dalam beberapa literatur yang didapat pengertian hadis ahad adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat  hadis mutawatir,  atau yang jumlah periwayatnya terbatas dan tidak banyak sebagaimana yang terjadi pada hadis mutawatir.