Buku ‘The Elementary Forms of The Religious Life’ dikenal sebagai karya magnum opus dari Emile Durkheim yang menjelaskan menguraikan pandangannya tentang agama dalam kehidupan manusia. Sebagaimana tokoh lain yang tergolong reduksionis agama seperti Sigmund Freud dan Karl Marx, Durkheim menganggap agama hanya sebagai salah satu elemin konstruksi nilai yang menjiwai kehidupan masyarakat, atau dengan kata lain bisa agama bagi durkheim sebenarnya hanyalah entitas yang diperlukan dalam rangka menjaga keutuhan masyarakat, karena itu bagi Durkheim agama bisa saja digantikan eleh entitas lain sesuai keinginan masyarakat, bagi Durkheim hal penting dalam kehidupan manusia adalah terbentuknya keharmonisan dan keutuhan masyarakat, dan dalam rangka itu maka diperlukan entitas-entitas untuk menupangnya yang salah satunya adalah agama.
Dalam buku ini Durkheim memetakan kerangka historis ‘agama-agama dasar’ beserta implikasi sosiologisnya yang kemudian menjadi “roh” suatu masyarakat. Melalui penelitian mendalam dengan pendekatan sosial Durkheim menemukan sebuah elemen dasar agama seperti Yang Sakral dan Profan, Totem, Tabo, roh, arwah leluhur, sakramen, pengorbanan, magis , ritual dan lain-lain, yang pada selanjutnya ia menyimpulkan bahwa “keyakinan-keyakinan dan ritual agama adalah ekspresi-ekspresi simbolis dari kenyataan sosial”. Selanjutnya ia mengatakan bahwa asal-usul agama modern bertolah dari bentuk-bentuk dasar agama klasik/primitif yang berevolusi menjadi agama-agama modern. Pandangan Durkheim sakalipun cendrung simplistis, mennggeneralisir dalam perkembangan sosiologi dianggap sebagai pembuka jalan bagi lahirnya teori-teori sosiologi agama lainnya.
Sekalipun demikian, pandangan kritis terhadap teori Durkheim ini juga tidak sedikit misalnya tentang pemisahan yang sangat rigid antara magis dan agama, kemudian antara sacred dan profan yang mana hal itu secara sosiologis dan empiris sulit atau bahkan tidak bisa dipertahankan. Kemudian Durkheim juga dipandang memandang agama hanya dari segi fungsinya saja yang menurutnya hanya untuk mengukuhkan dan menegaskan solidaritas kelompok sebagai hal yang memiliki signifikansi simbolik bagi suatu kelompok atau masyarakat, hal inilah yang juga membuat Durkheim dipandang telah terjebak pada sifat reduksionis, dimana moral dan religi direduksinya kepada “yang sosial”. Padahal dalam kenyataannya relasi pengalaman kejiawaan yang bersifat moral dan religius dengan yang rasional tidak terbentuk sesederhana yang dikatakan Durkheim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H