[caption id="attachment_161806" align="aligncenter" width="614" caption="Rombongan Kompasianer beserta enam sekawan, serta kru film N5M"][/caption] "Alif, jangan kamu salah artikan Man Jadda Wajada itu!" Ucap Said bijak, saat mengingatkan kawannya agar tidak memandang ungkapan Man Jadda Wajada sebagai pembenaran dari suatu kesalahan. Alif yang saat itu sedang galau sebagaimana yang dialami remaja seusianya karena tidak kerasan tinggal di Pondok Pesantren dan ingin pindah ke Bandung untuk melanjutkan pendidikannya di kota kembang. Apalagi ditambah dengan perginya Baso Shalahudin, sobat karib sekaligus teman bersama di asrama. Kini, tinggal Raja, Said, Dulmajid, dan Atang yang saling mengingatkan Alif untuk menepati sumpah mereka mengunjungi beberapa menara di dunia. Ikatan janji yang akhirnya terlaksana setelah belasan tahun kemudian menunjukkan bahwa bukan hasil yang utama dalam hidup ini, melainkan proses perjuangan lah yang sangat menentukan baik itu berhasil atau tidak tujuan mereka. Hingga akhirnya Alif memutuskan untuk kembali sebagai seorang Santri di Pondok Madani, setelah menerima surat dari sang Ibu. "Belajar dengan sungguh itu baik, namun terlebih baik lagi adalah hati yang bersungguh-sungguh untuk menjalankan tujuan" perkataan sang Ibu dalam surat yang diterimanya setiap beberapa bulan sekali. Keberhasilan itu baik, namun kegagalan juga merupakan langkah terbaik karena dengan belajar dari kegagalan bisa menjadikan seseorang untuk lebih kuat dan siap menjalani hidup. Seperti yang dicontohkan sang Guru di awal masuk Pesantren, Man Jadda Wajada bahwa siapa yang bersungguh-sungguh maka dia yang berhasil.
* Â * Â *
Tepat pukul 18.50 sore, saya dan belasan kawan Kompasianer berkumpul di Blitz Megaplex dalam rangka menyaksikan tayangan perdana film Negeri 5 Menara (N5M) bersama pameran utama dan kru film. Bertempat di lantai 6, Plaza Pacifik Place, Jakarta Selatan, tidak ketinggalan juga dari Admin sendiri yaitu Bang Isjet (Iskandar Zulkarnaen) dan Bang Nurul. Meski hanya sedikit yang menghadiri, namun kemeriahan dan keramaian tetap terjadi diantara kawan-kawan Kompasianer di gedung bioskop. Dengan satu deretan kursi yang diduduki oleh Pak Rifki Efendi, Bang Isjet, Babeh Helmi, Bang Erri Subekti, Mbak Farida Suryani dan tak ketinggalan sang ratu heboh, Ibu Dessy Priadarsini. Sementara di deretan lainnya ada Pak Dwiki Setiawan, Bang Achsin, Bang Ahmed Tsar, Ibu Ani Berta serta Om Jay (Wijaya Kusumah) yang datang agak terlambat saking terjebak macet di jalan. Menyaksikan tayangan film Negeri 5 Menara IN5M) selama hampir dua jam, terasa sebentar sekali. Bukan karena alur ceritanya yang pendek, namun karena sangat terkesan dengan filosofi yang terkandung dalam film tersebut. Selain itu pesan yang disampakan kepada penonton sangat jelas, yakni untuk selalu bersungguh-sungguh dalam mengerjakan suatu pekerjaan. Sebagaimana yang kami lihat ketika Alif dan kawan-kawan saling bekerja sama untuk mewujudkan impian mereka sebagai Ashabul Menara (pemilik menara dalam film ini). Juga dapat menelaah pengorbanan mereka seperti saat melobi Guru yang hobi Bulutangkis agar di pesantren dapat menyaksikan siaran pertandingan Thomas Cup di layar tv. Hal yang sebenarnya sangat tidak diperbolehkan oleh pihak pesantren, namun setelah usaha yang dilakukan enam sekawan dapat juga terlaksana, sebab melalui siaran pertandingan Bulutangkis bisa dijadikan ajang belajar para santri. Kemudian ada kisah percintaan ala remaja, ketika Alif kesemsem dengan seorang gadis keponakan dari Kyai pemilik Pondok Pesantren dan berkat perjuangan dari lima kawannya akhirnya dapat tercapai juga perkenalan meski gagal akibat gadis bernama Sarah itu kembali ke kota asalnya di Yogyakarta. Ada satu adegan yang sangat mengharukan ketika Baso Shalahudin memutuskan untuk meninggalkan masa belajarnya di pondok pesantren untuk kembali ke kampung halaman di Gowa, Sulawesi Selatan. Sebuah pilihan yang sulit, karena dengan begitu Baso harus berpisah dengan lima sahabatnya selama beberapa tahun di asrama, namun karena kecintaan beliau kepada sang Nenek yang telah renta dan sakit, mau tidak mau harus berpisah juga. Disinilah titik balik dari kesuksesan Enam Sekawan itu, karena meski berada jauh di seberang pulau, Baso tetap eksis untuk terus belajar dan belajar agar bisa menjadi orang yang sukses yaitu dengan menurunkan ilmu yang didapatnya selama menjadi santri kepada anak-anak di sekitar tempat tinggalnya.
* Â * Â *
Sebuah film yang sangat menginspirasi siapa saja yang menyaksikannya, Negeri 5 Menara berhasil membangun kepercayaan dan jati diri mengenai sifat pantang menyerah oleh keenam tokoh utamanya. Tetapi, tidak berarti film ini tidak ada kekurangannya, sebagaimana yang saya perhatikan dari awal hingga akhir, terasa menggantung di akhir cerita. Entah memang banyak adegan yang dipotong atau karena akan dibuat sekuel selanjutnya. Namun dalam beberapa film yang saya tonton semenjak tahun 2011 hingga awal 2012 ini, Negeri 5 Menara adalah yang paling berkesan, bukan disebabkan karena menyaksikan tayangan perdana lewat undangan. Namun plot cerita serta kelakuan dari tokoh utamanya yang membuat film ini tampak hidup, layaknya di kehidupan kita sehari-hari.
* Â * Â *
[caption id="attachment_161807" align="aligncenter" width="614" caption="Foto bersama menjelang masuk bersama Asisten Produser dan Sutradara"]
* Â * Â *
[caption id="attachment_161808" align="aligncenter" width="614" caption="Deretan kursi belakang yang diisi Kompasianer"]
* Â * Â *
[caption id="attachment_161809" align="aligncenter" width="614" caption="Sambutan dari Ahmad Fuadi sesaat menjelang film dimulai"]