Mohon tunggu...
Choirul Huda
Choirul Huda Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasianer sejak 2010

Pencinta wayang, Juventini, Blogger. @roelly87 (www.roelly87.com)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Resensi Novel "The Smiling Death: Senyuman Berbisa"

18 November 2013   04:35 Diperbarui: 20 Maret 2016   17:23 1424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1384723046211940031

[caption id="attachment_278598" align="aligncenter" width="442" caption="Sampul depan "][/caption] Kelam. Itulah kesimpulan yang saya dapat dari novel "The Smiling Death: Senyuman Berbisa" karya duet Kompasianer, Erri Subakti & Arimbi Bimoseno. Sebenarnya, cukup satu malam melahap habis novel setebal 240 halaman ini. Bahkan, tidak sampai beberapa jam untuk mengetahui alur kisah dari awal hingga akhir layaknya novel bergenre thriller lainnya. Namun, hingga sepekan ini, saya hanya mampu membacanya. Belum bisa menyelami isi dari apa yang terkandung di novel terbitan Elex Media Komputindo ini. Dalam. Kalimat yang tepat menggambarkan novel yang kemudian di dunia maya populer menjadi novel SDSB. Namun, saya sendiri kurang tertarik dengan akronim tersebut karena konotasinya merujuk penggalangan dana pada era orde baru. Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB). Saya cenderung menyukai novel ini sebagai "The Smiling Death" saja, atau "Senyuman Berbisa". Pertama kali melihat sampul depan novel ini pada Senin (11/11) yang menonjolkan siluet wanita dengan bibir bergincu, membuat saya mengira novel ini bertema "abu-abu". Apalagi, ketika di sampul belakang "The Smiling Death" terdapat label yang cukup mencolok: Novel Dewasa. Imajinasi saya melayang pada roman klasik nan populer dari tiongkok (Cina) yang sangat erotis, Jin Ping Mei. Beruntung, "The Smiling Death" tidak sejauh itu. Meski, pada halaman pertama seperti mengajak pembaca untuk mengintip "malam pertama" yang dilakukan dua tokoh utama, Ananta Schiller dan Rachel Wongso Wijoyo. Ya, tentu, Pepih Nugraha yang menjabat sebagai Managing Editor Kompas.com  tidak keliru saat memberi kata pengantar untuk "The Smiling Death": "Novel ini sangat apik dalam setting waktu dan detail peristiwa, Anda seolah-olah berada dan dipaksa masuk ke dalam situasi dan suasana yang disajikan penulis novel ini." Apa yang diutarakan pendiri Kompasiana itu beralasan. Menyelami "The Smiling Death" justru membuat pembaca mengernyitkan dahi. Setelah selesai baca bukannya langsung berkata, "oh, begitu toh ending ceritanya," layaknya novel-novel lainnya. Sebaliknya, pembaca kian "terjebak" dalam labirin waktu yang tak kunjung selesai. Kenapa si A harus begini. Si B, begitu. Atau, si C... Itu dapat dilihat pada akhir kisah yang sebetulnya belum berakhir. Ketika seorang pengemis yang merupakan ayah kandung Rachel sekaligus "pemerkosa" ibunya, Wulandari, tersenyum usai membaca headline surat kabar nasional tentang terbunuhnya calon gubernur. Saya membayangkan adegan tersebut mirip clue yang terdapat pada film Batman Begins, yaitu kartu Joker yang kemudian menjadi tokoh utama dalam The Dark Night.

*      *      *

Bagi saya pribadi, "The Smiling Death" bukan novel terbaik yang pernah saya baca. Meski, kisahnya kelam dan alur yang sangat dalam hingga sulit diselami apalagi sekadar ditebak. Hanya, novel ini masih kentara "keterikatannya" antara tokoh satu dengan lainnya. Seperti korelasi Rachel dengan Ananta, Wulandari, Julia Wongso Wijoyo -adik Rachel- hingga Carla Indira. Sosok yang menjadi sentral di balik layar yang sebelumnya dikendalikan Rachel "berbalik" mengendalikannya. Mungkin setara dengan "Namaku Hiroko", "Permainan Bulan Desember", dan "Perempuan Kembang Jepun". Meski, secara penokohan masih sedikit di bawah "Yang Liu", satu-satunya novel yang membuat saya bergidik sejak pertama membaca sampai sekarang. Namun, "The Smiling Death" memiliki kelebihan dibanding novel lainnya, minimal berdasarkan referensi pribadi saya. Tidak hanya terjebak kisah klise, seperti cinta segiempat (Ananta-Carla-Rachel-Julia), pencarian jati diri seorang anak pada orangtuanya, pembunuhan yang dilandaskan cemburu, atau pembalasan dendam saja. Tapi, dibalut dengan misteri dan drama yang disertai pemaparan adagium lawas nan filosofis, yang bagi saya ruwet tapi membuat penasaran. Bagaimana mungkin, di tengah persiapan pernikahan kedua Ananta -sebelumnya dengan Carla- dan Rachel, keduanya sibuk berdebat. Pasti, bukan cerita mengenai malam pertama yang "berujung neraka" atau tentang harta gana-gini. Melainkan, tentang percakapan kedua insan yang horizontal tentang Tuhan. "Semua yang hidup pasti akan mati. Jadi, di awal ketika tuhan menciptakan manusia di dalam rahim, sekaligus Tuhan sudah menentukan ending-nya, jadwal kematiannya. Demikian juga dengan kematian Carla. jadi, tidak ada gunanya kita bergabung terus-menerus menyesalinya," ujar Rachel menjawab pertanyaan Ananta sekaligus menutupi ulahnya yang dengan sengaja membunuh Carla, sahabat dekatnya. "Cara kerja Tuhan nggak gitu. Tidak linear gitu. Tuhan menciptakan berjuta ending dengan miliaran percabangan hidup. Tuhan membuat ending manusia mati di usia 25, tapi orang yang sama juga disiapkan Tuhan, mati di usia 50. Mati, di usia 25 atau 50 itulah pilihan manusia," Ananta mencoba berargumen, meski hasilnya sangat identik: Sepakat untuk tidak sepakat.

*      *      *

Judul: The Smiling Death: Senyuman Berbisa Penulis: Erri Subakti & Arimbi Bimoseno Penerbit: Elex Media Komputindo Tahun Terbit: November 2013 Jumlah Halaman: 240 ISBN: 978-602-02-2404-6

*      *      *

Resensi Buku Kompasianer Lainnya: - Celoteh Kompasianer TeDe 2 (Thamrin Dahlan) - Macaroon Love (Winda Krisnadefa) - 15 November (Anazkia) - Citizen Journalism (Pepih Nugraha) - Ketika Tuhan Mengizinkan Aku Sakit (Christie Damayanti) - Karma: Cepat Datangnya (Arimbi Bimoseno) - Bukan Orang Terkenal 1 (Thamrin Dahlan) - 66 Jurus Mabuk Buat Ngeblog (Suka Ngeblog) - Kompilasi Kompasianer (1) - Mengintip Kasus Medis di Balik Ruang Praktek Dokter 1 (Posma Siahaan)

*      *      *

- Jakarta, 18 November 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun