[caption id="attachment_146926" align="aligncenter" width="368" caption="Tampak pemandangan sungai di Jakarta dari atas perahu"][/caption] Sore tadi, saya bertandang ke rumah seorang kawan di daerah Jatipulo, Tomang, Jakarta Barat untuk mengcopy tugas Ujian. Sesampainya di sana, sudah ngumpul beberapa kawan lainnya untuk bersama-sama mengerjakan tugas ramai-ramai, sekaligus agar mendongkrak nilai kami yang rata-rata minus C dari kemungkinan terburuk D. Setelah tugas semua selesai, kami tinggal mencari toko Fotokopi untuk mencetak hasil tulisan. Namun karena belum juga menemukan toko fotokopi yang ada mesin print, akhirnya seorang kawan pun berinisiatif untuk mencarinya di daerah Jatibaru, Tanah Abang. Lalu kami pun ikutan menyeberangi sungai dengan menumpang sebuah perahu getek/ eretan. Perahu yang kesemuanya terbuat dari kayu dan bahan tradisional tanpa mesin apalagi bensin untuk mengemudikannya ini cukup unik. Dengan bermodalkan tenaga sendiri serta tali tambang yang dipilin dan dikaitkan dengan kuat di kedua sisi sungai yang berseberangan. Perahu Getek ini, menjadikan suatu alternatif warga untuk menyeberang disaat jembatan penghubung antar kedua Kotamadya Jakarta Pusat dan Jakarta Barat letaknya sangat jauh dari perkampungan warga. Kebetulan, ada kawan yang mempunyai ponsel kamera, jadinya saya dapat mengabadikan pemandangan yang menarik dari sungai Jeling yang mengalir ke arah Ciliwung hingga Bogor. Iseng-iseng saya sempat mengobrol dengan tukang kayuh perahu getek, yang bernama Pak Ridwan. Lelaki paruh baya yang berasal dari Kediri, Jawa Timur ini mengaku sudah belasan tahun berprofesi sebagai tukang antar jemput penumpang di sungai ini. Dengan waktu operasi sekitar pukul 06 pagi hingga pukul 10 malam, bersama anaknya yang bungsu, beliau bergantian mengemudikan perahu ini agar dapat digunakan warga sekitar. Dengan tarif rp 1.000 untuk setiap penumpang sekali angkut, dan rp 5.000 - 20.000 untuk sepeda motor ataupun gerobak warga yang ingin diseberangi melalui perahunya, Pak Ridwan pun mengakui kalau usahanya yang digeluti semenjak tahun 1998, atau pasca krisis moneter ini sangat lesu. Bukan apa-apa, sebab setelah booming kredit motor murah, sekitar tahun 2005 lalu, berdampak pada sepinya usaha yang di gelutinya selama ini. Di daerah itu yang dahulunya berjejer hingga lima perahu getek, sekarang menjadi kosong sama sekali, menyisakan beliau sendiri. Karena kebanyakan orang lebih memilih naik motor pribadi untuk ke seberang sungai, atau malah irit dengan jalan kaki memutar menuju jembatan penyebarangan yang letaknya lumayan jauh. Namun, biar begitu usaha yang digelutinya ini tetaplah dilirik penumpang, kalau pagi hari selepas Subuh, ada beberapa Ibu-ibu yang pulang dari pasar dengan menumpang perahunya. Pun, begitu kalau jam sekolah tiba dan saat pulang, tidak jarang banyak bergerombol pelajar, baik SD hingga SMA yang menaiki perahu ke seberang. Meski kadang jengkel, kalau ada anak SD atau beberapa pemuda setempat yang membayar hanya rp 500 rupiah, bahkan ada yang sama sekali tidak bayar. Padahal untuk sekali menyeberang dibutuhkan tenaga yang tidak sedikit dengan fisik kuat supaya tidak terlepas di tengah sungai. Tetapi, beliau selalu bersemangat dalam pekerjaannya itu. Pernah akhir tahun lalu, ada rombongan mahasiswa sebuah Perguruan Tinggi Negeri terkenal di Indonesia yang menyewa perahunya hingga seharian untuk dibuatkan sebuah film dokumenter mereka. Alhasil, Pak Ridwan pun kecipratan rupiah yang lumayan besarnya. Juga saat beberapa turis bule, entah nyasar kemana, tiba-tiba menyewa perahunya hingga beberapa kali bolak-balik di tempat yang itu-itu saja. Turis yang dipandu seorang warga Indonesia itu, tampak senang memotret kanan kiri sembari tertawa kegirangan, seolah-olah di Jakarta ini adalah Venesia dengan Gondola, sebagai perahu Pak Ridwan. Meskipun begitu, beliau selalu mengingatkan penumpangnya agar tidak terlalu berisik ketika perahu sedang di tengah sungai, apalagi bercanda dengan mengeluarkan kata-kata kotor seperti kebanyakan anak remaja lainnya. Sebab apa yang ada di dasar sungai ini, entah ada penghuninya atau tidak kita tidak mengetahuinya. Tutup beliau sembari menarik kuat tali tambang untuk merapatkan ke papan penyandar. Akhirnya saya pun pamit kepada beliau untuk kembali bersama kawan-kawan lainnya yang telah lama menunggu di sisi sungai.
*Â Â *Â Â *
[caption id="attachment_146928" align="aligncenter" width="368" caption="Saya dan beberapa kawan di perahu getek"][/caption]
*Â Â *Â Â *
Djembatan Lima, 07 Desember 2011 (00:20 wib) Bertahan menantang arus demi mencari nafkah untuk di rumah. Foto: Koleksi Kawan. - Choirul Huda (CH)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H