"DRA, bosan ah di sini terus. Kita ke atas yuk, itu kayaknya rame ada suara seperti studio."
"Ok Sum. Bentar, aku fotoin maket Sunda Kelapa abad XVII."
"Ya udah, gw duluan ya. Ntar lo nyusul. Gw ga mau sendirian di atas, takutnya ga ada orang."
"Iye bawel."
Siang itu, pada pertengahan periode phalguna, aku bersama Sumbadra mengunjungi Museum Bahari di kawasan Sunda Kelapa, Jakarta Utara. Kebetulan, kami sama-sama libur, jadi daripada jenuh di cafe dan tempat hang-out lainnya, kami mengisi waktu senggang di tempat wisata yang kata orang sih, anti-mainstream. Alias, ke museum!
Terlebih, aku memang menyukai petualangan yang rutin ke cagar budaya seperti museum. Sementara, Sumbadra meski tidak terlalu sering tapi beberapa kali menemaniku ke tempat bersejarah. Terakhir, kami sama-sama tapak tilas ke Museum Prasasti.
"Sepi Sum. Kirain rame suara orang, ga tahunya audio ini," kataku menunjuk ke arah proyektor yang menayangkan film peperangan pada abad pertengahan.
"Iya."
"Lha, dirimu wangi bener. Perasaan di bawah ga kayak gini. Abis mandi?"
"Aku memang wangi dari dulu. Kamu ga tahu ya?" jawab Sumbadra dengan tersenyum manis sambil memamerkan deretan giginya yang putih dan bersih. Ah, dengan senyum yang memesona ini membuat pria mana yang tidak luluh?
"Kirain dirimu mandi di toilet sini. Ha ha ha."