[caption id="attachment_357868" align="aligncenter" width="461" caption="Ketan Durian (Sumber foto: Dokumentasi pribadi/ www.kompasiana.com/roelly87)"][/caption]
Sebagai warga perantauan, salah satu rasa kangenku adalah mengenai makanan. Di ibu kota ini memang banyak yang menjual kuliner khas Sumatera Barat (Sumbar). Baik itu Rendang, Ayam Pop, Gulai Tanjung, Kepala Kakap, Dendeng Balado, dan sebagainya.
Hanya, rasanya tentu  berbeda ketimbang di kampung halaman. Terutama jika dibandingkan dengan masakan mandeh yang bikin aku rindu pada kuliner khas Minang. Tapi, bagaimanapun, keberadaanku di Jakarta bukan sekadar ingin bernostalgia. Melainkan demi mencari rezeki untuk kehidupan kelak. Terlebih, setiap Idul Fitri, aku memiliki libur dua pekan untuk berlebaran dengan mandeh, abak, dan ninik mamak lainnya.
Genap satu Pelita aku berada di kota ini. Sudah banyak pengalaman yang kudapat dari hiruk-pikutnya Jakarta dibanding heningnya desa Bayang di Pesisir Selatan (Sumbar). Secara tidak langsung, diriku sudah mulai beradaptasi dengan rekan-rekan kerja dan juga tetangga di sekitar kostan. Termasuk dengan Alena, partner kerja yang memiliki senyum menawan.
* Â Â Â * *
"Hai Dra, mau kado apa pas ultah?" demikian Alena menyapa diriku saat kami berada di kantor yang langsung kubalas dengan senyum.
"Ultah? Aku saja tidak begitu ingat. Perasaan kan tiap tahun kita merayakan ultah."
"Ah elu, pan waktu gw ultah elu udah kirim jam tangan di online. Sekarang, gantian gw yang mau kasih elu kado. Ayo cepat, apaan? Atawa, weekend kita cari berdua?"
"Tidak usah Len. Converse dari kamu tahun lalu saja masih utuh..."
"Ah elu, pake sok jaim segala. Mumpung masih seminggu lagi, gw pan bisa cari kado?"
"Bener Len, tidak usah. Kamu sering kasih kado tiap tahun. Aku jadi tidak enak menerimanya..."