Sisi Lain Konser Coldplay: Mistik, Sedih, Haru, dan Bahagia
SEBAGAI sosok yang tumbuh pada dekade 1990-an, tentu saya tak asing dengan Coldplay. Ya, band asal Inggris ini memang  didirikan pada 1996 silam.
Debut albumnya, Parachutes, rilis pertengahan 2000. Saya mengenal Coldplay sejak MTV masih merajai industri hiburan kala itu bersama Majalah Hai.
Namun, saya hanya sedikit tahu terkait band yang dipimpin Chris Martin tersebut. Maklum, genre Britpop bukanlah favorit saya yang sejak remaja menyukai rock, alternatif, metal, dan sejenis.
Hingga kini, paling hanya segelintir lagu yang saya kenal dari Coldplay. Misalnya, Shiver yang mengingatkan saya dengan lagu Dewa 19, Persembahan Dari Surga.
Selanjutnya, Yellow, Don't Panic, In My Place, Fix You, dan Viva La Vida. Udah, itu aja. Ga nyampe 10 lagu.
Bahkan, yang terakhir itu sempat saya kira lagu Ricky Martin yang jadi OST World Cup 1998: La Copa de la Vida.
He he he.
Beda dengan Guns N' Roses yang bisa dibilang khatam dari album debut hingga kini. Maklum, dalam pustaka musik saya, era 1990-an diwarnai "Big Six".
Selain GNR, ada Nirvana, Metallica, Bon Jovi, Red Hot Chili Peppers, dan U2.