"Lha, kenapa tidak? Aku pertaruhkan segala yang kupunya, bahwa Yang Liu itu memang beracun. Percayalah."
"Tentu aku memercayaimu. Tapi, biarkan aku juga memercayai perasaanku sendiri. Setidaknya, untuk saat ini."
"Terserah..."
* Â Â Â * Â Â Â *
Sepanjang hidup, aku menyukai banyak bunga. Di antara deretan empat bunga yang paling indah di dunia ini, Kimilsungia, Seroja, Anyelir, dan Magnolia. Aku mengagumi nama yang pertama. Hanya, bunga tersebut sudah kadung melekat dan menjadi simbol sebuah negara di Asia Timur, hingga membuatku mencari yang lain. Ya, Magnolia, entah kenapa aku terpikat setiap menatapnya.
Sebenarnya, meski indah, bunga tersebut biasa saja. Setidaknya jika dibandingkan dengan Seroja, Anyelir, bahkan Kimilsungia. Namun, indra perasa tentu memiliki alasan tertentu. Dan, alasan terbaik dalam menemukan suatu jawaban adalah tidak ada alasan sama sekali. Murni karena mengagumi.
Itu pula yang aku alami terhadap Yang Liu. Selain parasnya yang menawan dan gaya bahasa ceplas-ceplos. Biasa saja, dan tidak ada yang lain.
Kawasan pecinan di Pasar Pagi menjadi saksi bisu pertemuanku yang kedua dengan Yang Liu. Bisik-bisik mulai menjalar di antara pedagang yang dipenuhi etnis minoritas. Tak ketinggalan dari mulai penjual hio, petasan, arak, hingga kue bulan sekalipun di los seberang turut memandang sinis kepada kami.
"Ssst... Dia sama yang baru."
"Ya, calon korban, atau mau dikorbanin lagi?"
"Semoga tidak jadi seperti yang dulu-dulu."