Salah satu pengalaman berkesan saya hingga menjadi sebuah pelajaran berharga di jalan raya ketika turut menumpang rekan kerja yang mengendarai Toyota Avanza. Saat itu, sekitar pertengahan 2010 saya bersama tiga orang kawan pulang dari urusan bisnis di Solo, Jawa Tengah menuju Jakarta. Itu merupakan salah satu peristiwa yang tak terlupakan bagi kami berempat, khususnya saya.
Ketika itu kami berangkat dari Solo saat hari sudah gelap. Itu terjadi karena kami sedang diburu waktu menuju kantor yang terletak di kawasan Pasar Pagi, Jakarta Barat, pada pagi harinya. Alhasil, sepanjang malam kami berempat bergantian mengemudikan mobil berkapasitas 1.500 cc itu sambil ditemani dentum musik rock.
Kebetulan, saya "kebagian tugas" menyetir mobil saat masih di jalur pantai utara Jawa (Pantura) yang masih sepi sekitar pukul 01.00 WIB. Setelah saya, giliran kawan yang biasa dipanggil Konde menjadi juru mudi ketika tiba di Cirebon. Awalnya, sejak beranjak dari "kota udang" hingga Bekasi, perjalanan kami biasa saja. Saat itu, Konde menyetir ditemani Adi yang duduk di kursi depan. Sementara, saya dan Ilham, tertidur pulas karena lelah sepanjang jalan berceloteh tiada henti.
Tiba-tiba, ketika melintasi kawasan Tambun, Bekasi, Konde berteriak histeris. Sontak, kami bertiga terutama saya yang masih ngelindur, langsung bangun. Saat itu Konde mengatakan mobil tidak bisa bergerak tepat di di perlintasan kereta api. Seketika, kami semua menjadi panik tak terkira. Sebab, mesin mobil tidak bisa dinyalakan, sedangkan kami berada di tengah rel kereta api!
Apalagi, dari arah kejauhan terdengar suara kereta yang akan segera melintas. Seketika, keringat sebesar biji jagung langsung membasahi sekujur tubuh kami. Adi, kawan kami yang duduk di depan saya secara refleks ingin meloncat keluar mobil. Hanya, itu tidak bisa karena pintu kendaraan keluaran 2008 itu terkunci otomatis. Kepanikan bertambah, khususnya saya pribadi yang sudah tidak bisa berpikir.
Pasrah. Itulah kondisi yang melanda kami berempat dalam mobil inventaris kantor. Ilham yang duduk di samping saya tampak lemas dengan mulut komat-kamit berdoa semoga tidak terjadi hal yang buruk. Di sisi lain, Konde masih berusaha menyalakan mesin. Dari kursi belakang yang saya tempati, terlihat tangan pria yang saat itu berusia 25 tahun sangat gemetar.
Namun, Konde pantang menyerah dan terus berusaha menstarter kendaraan bertransmisi manual ini meski dari kejauhan sudah terlihat lokomotif kereta barang. Tanpa dikomando, saya dan Ilham langsung merangkul Konde untuk memberi semangat. Ya, ibarat orang yang sedang hanyut di sungai, jangankan ranting pohon, bahkan rumput pun kami pegang demi bisa selamat. begitulah kondisi yang terjadi di antara kami bertiga sementara Adi pingsan dengan bersandar di sisi kaca saking takutnya.
Beruntung, ketika asa mulai menipis karena situasi yang mencekam, mesin menyala. Tanpa membuang waktu, Konde langsung menginjak pedal gas sedalam-dalamnya. Seketika, mobil meluncur deras menyerempet palang pembatas di depan jalan hingga terperosok. Hanya berjarak sepersekian detik, di belakang kami terdengar suara kereta melintas!
Spontan, saya, Konde, dan Ilham berteriak lega. Air mata bercucuran memmbasahi pipi kami. Terdengar Konde mengucapkan syukur tanda lolos dari marabahaya. Meski tampak pucat dan nafasnya tersengal-sengal, tapi dari raut wajahnya memperlihatkan kelegaan. Konde pun menepikan kendaraan berjarak belasan meter dari perlintasan rel kereta menuju sebuah warung kopi. Saat itu kami semua langsung menyadarkan Adi yang terlelap karena fobia.
* Â Â Â * Â Â Â *
Meski kejadian itu telah lewat hampir empat tahun berselang dan kami sudah tidak lagi bekerja di tempat yang sama. Namun, saya dan ketiga rekan, Konde, Ilham, dan Adi masih mengingat jelas peristiwa tersebut. Khususnya bagi Konde yang dulu dikenal suka ngebut saat mengendarai sepeda motor maupun mengemudikan mobil. Setelah kejadian tersebut, pria yang kini sudah berkeluarga itu benar-benar kapok.