Banyak yang mengatakan bahwa sepak bola merupakan alat pemersatu bangsa. Ya, sejak dulu, permainan mengolah si kulit bundar itu tidak sekadar olahraga semata. Melainkan juga sebagai simbol atau bahkan perekat antarsesama manusia.
Sejarah mencatat, meski Jerman Barat dan Jerman Timur sebelum unifikasi pada 1990 terlibat perang dingin. Maklum, kedua negara itu memiliki ideologi berbeda. Satu liberal dan satunya lagi komunis. Namun, jika berbicara sepak bola, masyarakat di kedua negara itu kompak. Bahkan, pada pertengahan 1980-an banyak remaja yang saling menyebarangi Tembok Berlin demi menyaksikan suatu pertandingan.
Sementara, di kawasan Timur Tengah yang hingga kini masih berkecamuk. Sekitar tahun 2010 lalu, dunia internasional sempat dikejutkan dengan duel persahabatan antara klub Palestina dengan Israel. Kendati pertandingan itu tidak terafiliasi FIFA sebagai induk resmi sepak bola tertinggi di dunia. Tapi, kenyataan itu mengingatkan kita bahwa, olahraga terutama sepak bola tidak memandang sekat antara ideologi, keyakinan, maupun SARA.
* * *
Hal sama terjadi di Indonesia. Tepatnya di kota Bandung yang kebetulan saya sendiri mengalaminya, meski dari aspek berbeda. Bermula dari percakapan di sebuah angkot jurusan Cibiru – Leuwi Panjang, Kamis (16/1). Saya iseng bertanya kepada sopir angkot berusia setengah baya yang menyebut namanya cukup dipanggil Ucok.
Awalnya, saya sempat heran ketika mendengar pria asal Sumatera Utara itu mengeluh terus. Kebetulan, saya duduk di kursi depan samping kemudi. Karena tak tahan mendengar dirinya terus bersungut-sungut yang diikuti dengan seringnya angkot berhenti setiap beberapa puluh meter sekali.
Saya yang meyakini sopir itu melakukannya demi mencari penumpang kemudian mencoba bertanya. Meski jawabannya sudah saya ketahui karena sepinya penumpang akibat cuaca di kota kembang itu agak gerimis.
Namun, rasa penasaran saya tergoda untuk melakukan perbincangan ketika angkot masih ngetem tidak jauh dari markas Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat di Jalan Soekarno-Hatta.
Alangkah terkejutnya saya ketika mendengar penuturan Ucok. Sebab, sosok berperawakan kurus itu menyebut sepinya penumpang bukan karena hujan yang memang dalam beberapa pekan terakhir terus mengguyur Bandung. Melainkan akibat adanya pertandingan sepak bola Inter Island Cup (IIC) 2014 yang disiarkan di salah satu televisi swasta.
Kebetulan, yang bertanding merupakan tim pujaan warga Jawa Barat, khususnya Bandung, yaitu Persib Bandung. Sementara, lawannya? Lagi-lagi tim asal Jawa Barat, Pelita Bandung Raya (PBR)! Pertandingan yang kerap dijuluki “Derby Bandung” itu disebut Ucok sebagai salah satu penyebab sepinya penumpang.
“Ya begini ni, kalo Persib lagi main. Hampir semua masyarakat, baik pria maupun wanita pada nunda buat pergi. Rata-rata mereka pada nonton dulu di tv. Apalagi, lawannya PBR yang diperkuat Bepe (Bambang
Pamungkas),” kata Ucok sambil menyalakan kreteknya.
Mendengar penturannya membuat saya tertarik untuk bertanya lebih jauh. Meski saya pribadi kurang menyukai sepak bola dalam negeri akibat stigma buruk yang selalu berantem di setiap pertandingan. Namun, keterangan dari Ucok tadi membuat saya tergerak.