[caption id="attachment_240820" align="aligncenter" width="301" caption="Pram (www.goodreads.com)"][/caption]Tujuh tahun lalu, tepatnya Selasa, 1 Mei 2006, hampir seluruh headline media cetak di Indonesia memuat berita mengenai salah satu tokoh paling berpengaruh di dunia sastra: Pramoedya Ananta Toer. Sebab, sehari sebelumnya, sosok yang akrab dipanggil Pram itu meninggal dunia pada usia 81 tahun.
Sebenarnya, saya kurang begitu "ngeh" saat membaca berita kematian satu-satunya sastrawan Indonesia yang pernah dinominasikan meraih penghargaan Nobel tersebut. Maklum, selain tidak begitu hobi dengan dunia sastra, saya sendiri belum mengenal Pram.
Apalagi, pertama kali saya mengetahui riwayat tentang pria yang terkenal dengan novel "Arok Dedes" itu ketika membaca wawancaranya dengan majalah Playboy edisi April 2006. Tapi, itu pun bukan karena saya memang antusias menelusuri jejak kelamnya sepanjang delapan halaman di Pulau Buru. Melainkan, karena tertarik menyambut edisi perdana dari majalah yang beberapa waktu kemudian dibredel itu dengan cover mencolok, Andhara Early.
* Â Â Â * Â Â Â *
Hingga, berselang banyak tahun, setelah sering membaca artikel "berbau" sastra, saya baru menyadari bahwa Pram itu merupakan sosok fenomenal. Mungkin, saya bisa menyebut pria kelahiran Blora, Jawa tengah, 6 Februari 1925 ini sebagai pribadi yang unik, sedikit nyentrik, menjurus kontroversial, namun genius.
Itu saya dapat usai membaca berbagai kisah hidupnya serta beberapa buku Pram yang meski sulit dicerna tapi bikin penasaran. Apalagi, dia merupakan sosok yang jujur, bebas, dan terkesan blak-blakan. Seperti halnya sewaktu Pram dengan datar menyebut Nobel bukan keinginan terbesarnya.
"Bagi saya, kalau dapat itu (Nobel) berarti penghargaan dunia. Itu saja," kata pria yang mendapat penghargaan bergengsi Ramon Magsaysay Award itu. "Saya sudah dapat penghargaan di mana-mana. Orang baca karya saya saja itu sudah suatu penghargaan."
Yang menarik, ketika Pram mengakui sama sekali tidak mempunyai dendam dengan pemerintah orde lama dan orde baru, meski sempat diasingkan ke pulau terpencil padahal dirinya sama sekali tidak bersalah. Namun, dia juga menegaskan tidak pernah memaafkan perlakuan militer terhadapnya. Terutama setelah  perpustakaan yang dikumpulkannya sejak puluhan tahun dibakar begitu saja:
"Saya enggak suka militer Indonesia. Itu grup bersenjata menghadapi rakyat yang nggak bersenjata. Kalau ada perang internasional, lari terbirit-birit. Karena biasanya yang dilawan rakyat tanpa senjata. Saya nggak bisa memaafkan. Yang dibakar aja delapan, belum yang hilang di penerbit-penerbit. Nggak tahu kok, sejarah saya sejarah perampasan. Ini pendengaran saya juga hilang. Ini kerjaan militer juga yang bikin saya setengah tuli, dihajar pakai popor senapan."
* Â Â Â * Â Â Â *
Mendengar penuturan lirih tersebut, seketika membuat saya merinding. Merinding membayangkan siksaan yang diterima Pram, termasuk ketika kebebasannya terbelenggu di Pulau Buru. Namun, karena pengasingannya itu yang membuat Pram kian terkenal dan mengundang simpati masyarakat internasional.