"Semua orang bisa berbuat benar. Tapi, tidak semua orang mampu bersabar."
Ungkapan tersebut terdapat pada tempelan stiker yang tertempel di kaca pintu sebuah Metromini jurusan Kalideres – Senen, siang lalu. Meski intinya stiker tersebut mempromosikan sebuah produk pelangsing dan herbal, tapi bagi saya kalimat itu sangat bermanfaat. Minimal, dapat menghibur sepanjang perjalanan, akibat sopir yang mengendarai berlaku agak ugal-ugalan (ngebut).
Memang, di dunia ini, hal yang paling sulit ada tiga: Jujur, Sabar, dan Loyal.
Semua orang bisa berbuat kebaikan pada masa lalu, saat ini dan masa depan. Tapi, tidak semua orang bisa melakukan tiga hal tersebut. Terutama dalam hal kesabaran yang berkolerasi erat dengan kejujuran dan loyalitas.
Banyak individu yang tidak sabar menjadi gelap mata. Sebut saja, pejabat pemerintahan yang korupsi, dengan menyelewengkan uang negara untuk kepentingan pribadi. Padahal, apa yang kurang dari sosok bertalenta tersebut?
Pejabat itu merupakan salah satu petinggi partai ternama di negeri ini, menduduki posisi penting di dunia olahraga, dan aktif membina hubungan sosial. Bertameng alasan demi menghidupi anak-istri di rumah, pejabat tersebut rela “menjual” nama baik yang telah ditumpuknya selama ini.
Padahal, itu semua akibat gaya hidup keluarganya yang terlalu wah, akibat jor-joran diberi asupan harta korupsi. Apa yang dilakukan pejabat itu bukan hanya tidak sabaran, dalam mencari nafkah. Melainkan juga tidak jujur pada diri sendiri, dan mengkhianati kepercayaan rakyat banyak.
* * *
Usai membaca stiker yang warnanya sedikit pudar itu, ingatan saya langsung terbayang pada pertempuran di Selat Gibraltar, sekitar 14 abad lalu. Dalam buku “The Great Islamic Conquests” karya David Niccole, dilukiskan bagaimana sebuah kesabaran mampu menyelamatkan hidup khalayak ramai.
Itu terjadi dalam buku yang mengisahkan keberhasilan pasukan Umayyah yang dipimpin Tariq bin Ziyad menaklukan kerajaan Spanyol, yang berpusat di Andalusia, abad delapan masehi. Konon, dikisahkan, sewaktu pertama kali menginjakkan kaki di negeri semenanjung Eropa Selatan itu, Tariq segera menitahkan pasukannya untuk membakar habis perahu yang ditumpangi.
Sebabnya, hanya satu, agar pasukannya meraih kemenangan saat menghadapi Spanyol. Sejak itu, strategi Tariq dikenal dengan perang membelakangi sungai. Pasukannya memang menang, tapi itu diraihnya tidak mudah, karena mereka bertempur dengan sabar hingga mampu menekan posko utama musuh dan menghancurkan gudang persediaan.