JAKARTA –  Memasuki sepuluh akhir di bulan Ramadhan, intensitas tawuran remaja di Jakarta justru semakin marak. Hampir setiap hari kita disuguhi berbagai macam berita mengenai salah satu aktivitas penyimpangan remaja tersebut. Melalui media cetak maupun online, seperti Kompas, Antara, maupun Detik, kerap disorot mengenai sebab dan akibat dari tawuran.
Ironisnya meski beberapa remaja telah tertangkap aparat keamanan maupun diberikan penyuluhan, namun hampir semuanya tidak ada efek jera bagi mereka. Karena tawuran tetap saja terjadi, dari awal Ramadhan hingga pertengahan saat ini, Selasa (07/08).
Sebagai seorang yang pernah remaja dan hampir setiap hari menyaksikan berbagai penyimpangan seperti tawuran, tentu saya tidak aneh dengan hal seperti ini. Apalagi kediaman saya berada di salah satu kawasan padat penduduk di Jakarta, yang menjadikan saya dapat mengetahui lebih dalam. Mengenai tawuran atau penyimpangan remaja, saya sendiri telah banyak menuliskannya dalam beberapa tulisan terdahulu.
* Â Â Â * Â Â Â *
Beberapa hari yang lalu, saya sempat menanyakan kepada sekelompok remaja tentang penyebab terjadinya tawuran. Kendati mereka itu sudah tidak pernah melakukan tawuran lagi dalam dua tahun terakhir akibat ada seorang kawannya yang sampai cacat karena terkena sabetan celurit, namun tragedi kelam tersebut hingga sekarang tidak bisa dihilangkan begitu saja.
Apalagi ulah sepele gara-gara saling ejek saat main bola tengah malam dan membangunkan sahur, sampai harus membuat mereka "berperang" di dua kelurahan berbeda yang hanya dipisahkan sebuah jalan kecil. Beruntung ada beberapa tokoh pemuda dan tetua kampung yang disegani di kedua kubu itu ikut mendinginkan susasana hingga tercipta kesepakatan damai.
"Biasa Bang, dulu tawuran itu pan gara-gara kita saling ngejek. Penyebabnya sih nggak tahu juga, seinget saya udah dari zaman kibenen kita udah perang di waktu malam sama subuh. Ntar kalo udah lebaran, biasa lagi Bang, kalo kita ketemu di jalan saling sapa dan ga ada dendam sama sekali," ujar seorang remaja.
"Biar masih perang tapi kalo ngedukung The Jack, biasanya kita kompak, Bang. Terus juga kalo ada konser OI atawa Slankers, kita juga satu suara buat nyewa truk bareng," kata seorang remaja lagi menambahkan. Dari beberapa remaja tersebut, saling mengiyakan penuturan kawannya itu saat saya menanyakan.
Mendengarkan ucapan mereka, bagi saya tentu tidak begitu aneh karena hal itu memang nyata dan dialami juga oleh beberapa kawan seangkatan di awal dekade 2000-an. Hanya saja, yang menjadi pertanyaan adalah, ucapan kedua remaja tersebut yang kompak mengatakan bahwa antara gengnya dengan geng musuh bisa kompak bila mendukung tim sepak bola Persija serta menyaksikan konser Iwan Fals dan Slank.
Dapat diartikan bahwa tawuran di waktu malam atau subuh di bulan Ramadhan, salah satu penyebabnya merupakan sebuah kebiasaan yang diwariskan oleh pendahulunya. Karena dendam yang mendarah daging, dari seniornya itu, akibatnya menurun pada generasi berikutnya yang akhirnya ikut-ikutan untuk tawuran.
"Buat ngeredamnya, ga cukup hanya antar pengurus (RT/ RW/ Kelurahan) yang saling berdialog, tapi juga mesti ngebawa kedua kelompok  yang bersangkutan untuk dipertemukan. Biar mereka saling tatap muka dan ga perlu dipaksa ngaku bersalah, sebab kalo udah disaksiin warga sama orang tua masing-masing, yang ada mereka itu kapok dengan sendirinya," ungkap seorang pengurus yang daerahnya pernah diwarnai tawuran saat saya tanyakan.