Mohon tunggu...
Choirul Huda
Choirul Huda Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasianer sejak 2010

Pencinta wayang, Juventini, Blogger. @roelly87 (www.roelly87.com)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Cengli, Kunci Keberhasilan Pedagang Etnis Tionghoa

23 Maret 2012   22:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:34 1412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Cengli lah.

Ya sudah, Cincay lah.

Yang penting situ untung, kita juga untung..."

Beberapa kalimat tersebut mungkin sudah pernah kita dengar dalam pembicaraan sehari-hari, terutama bila berhubungan dengan tetangga ataupun pedagang yang berasal dari etnis Tionghoa (China).

Memang kata Cengli maupun Cincay tidak terdapat dalam kamus besar Bahasa Indonesia maupun dalam ungkapan formal baik di setiap percakapan umum. Namun untuk komunitas tertentu, kata Cengli dan Cincay sering terucap terutama dari pedagang etnis Tionghoa maupun dalam berbisnis. Seperti halnya saya sendiri yang tidak begitu aneh sebab sering mendengar dan juga mengucapkan karena masih mempunyai garis keturunan Tionghoa hingga tanpa sadar suka berkata seperti itu baik kepada kawan maupun keluarga.

Seperti yang terjadi sore kemarin saat saya pergi ke sebuah pertokoan di kawasan Glodok, Jakarta Barat. Kebetulan hari Jumat kemarin adalah tanggal merah alias libur untuk memperingati hari raya Nyepi, maka saya pun menyempatkan diri pergi ke Glodok untuk memperbaiki kamera yang lensanya macet dan tidak bisa di foto. Sebenarnya kamera tersebut sudah lama mengalami macet sejak mengikuti acara kopdaran di TIM akhir Februari lalu, namun karena hari Sabtu dan Minggu jarang mempunyai waktu luang akibat jadwal kuliah yang padat maka baru bisa memperbaikinya kemarin.

Ketika sampai di lokasi yang di tuju langsung saja kamera saya di servis dengan diberitahu oleh teknisinya bahwa lensa macet akibat rel di dalam terlalu longgar hingga tidak normal lagi. Sembari menunggu kamera yang sedang diperbaiki, iseng-iseng saya pun berkeliling untuk mencari beberapa barang yang ingin di beli sekaligus membunuh rasa bosan akibat waktu perbaikan yang lumayan lama. Setelah beberapa saat menyusuri lorong yang banyak terdapat etnis Tionghoa untuk menjual peralatan komputer dan elektronik, tanpa sengaja saya tertuju pada suatu barang yang memang sedari dulu ingin dibeli.

Barang tersebut adalah sebuah keyboard dengan merk resmi, karena keyboard di rumah sudah banyak tombol yang hilang hingga harus ditambal ulang mirip sebuah mesin ketik. Sambil melihat-lihat tidak lama kemudian saya pun didatangi yang punya toko seraya menawarkan sebuah keyboard dengan merk L yang terkenal sangat bagus namun harganya pun lumayan bagus. Saat pertama kali menanyakan ternyata harga keyboardnya lumayan mahal berkisar di angka 300 ribu yang tentunya membuat saya kaget dan langsung hendak berlalu dengan sebelumnya mengucapkan terima kasih.

Namun baru beberapa langkah keluar dari toko, pemilik toko tersebut buru-buru mengejar seraya mengatakan bahwa harga keyboard tersebut masih bisa nego alias ditawar. Karena tertarik dengan keyboard yang terkenal bagus dan juga tawaran manis dari pemilik toko, saya pun mengurungkan niatnya untuk pergi. Lalu tawar-menawar pun terjadi seperti biasanya antara pembeli dan penjual, di satu sisi pemilik toko ingin barang terjual dengan harga yang pantas dan hanya dikurangi sedikit. Tetapi di satu sisi lainnya sebagai pembeli, saya pun menginginkan barang yang memang bagus namun harus sesuai dengan isi kantong dan kemampuan saya sebagai mahasiswa serta tidak harus memaksakan diri.

Tawar menawar pun berlangsung dengan lama meskipun hanya untuk sebuah keyboard, dan lagi oleh pemilik toko tak lupa saya disuguhkan segelas air mineral serta di persilahkan untuk melihat-lihat terlebih dahulu barang yang diinginkan dan masalah jadi beli atau tidak itu urusan belakangan. Terkesan dengan cara pelayanan yang sangat ramah darinya, akhirnya saya pun melakukan penawaran terakhir dengan mengatakan bahwa saya hanya sanggup di kisaran harga dua ratus ribu dan apabila melebihi dari harga itu maka saya tidak jadi beli.

Setelah lama terdiam dan memencet kalkulator, sang penjual itu pun menyetujuinya, lalu mengambil barang yang saya inginkan dengan masih terbungkus rapi disertai segel. Saya yang mendapati kenyataan seperti itu menjadi girang juga sekaligus dalam hati bertanya-tanya apakah penjual tidak rugi. Sebab setahu saya harga keyboard tersebut di pasaran memang hampir tiga ratus ribu rupiah, baik itu di toko resmi maupun eceran seperti di Mangga Dua. Dan lagi sebenarnya saya bisa saja membayar di harga pertengahan, namun karena harus memikirkan untuk ongkos perbaikan kamera dan juga kebutuhan sehari-hari maka saya bertahan dengan penawaran yang lumayan murah itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun