[caption id="attachment_308498" align="aligncenter" width="491" caption="Demo wayang di acara puncak Festival Hari Museum Internasional dan Memperingati 236 Tahun Museum Nasional Indonesia (foto: www.kompasiana.com/roelly87)"][/caption]
Hampir setahun berlalu sejak pencurian artefak emas, tepatnya pada 11 September 2013. Namun, sejauh ini manajemen Museum Nasional belum juga selesai berbenah. Setidaknya itu yang saya rasakan saat  menghadiri acara puncak Festival Hari Museum Internasional dan Memperingati 236 Tahun Museum Nasional Indonesia, Sabtu (24/5).
Kebetulan saat itu saya libur dan sambil mengisi kekosongan untuk malam harinya mengikuti acara nonton bareng (nonbar) final Liga Champions antara Real Madrid kontra Atletico Madrid. Seusai menghadiri acara Nangkring Kompasiana bersama Jakarta Monorail di Outback Steakhouse, Mall Kuningan City, saya bisa langsung menuju ke Museum Naisonal.
Hanya, ekspekstasi saya terhadap manajemen museum yang konon terbesar di Asia Tenggara itu sirna. Sebab, niat awalnya selain menghadiri Festival Hari Museum Internasional, kedatangan saya ke Museum Nasional itu juga ingin melihat langsung, tepatnya memastikan. Apakah, setelah insiden pencurian artefak emas itu, manajemen Museum Nasional langsung berbenah.
Ternyata, sama saja masih seperti dulu. Sebab, ketika hendak masuk ke Ruang Kasana yang terletak di lantai dua, tidak bisa. Usut punya usut, ternyata ruangan yang menyimpan ratusan koleksi berharga terbuat dari emas seperti artefak, mahkota, koin hingga keris itu masih ditutup. Berdasarkan informasi yang saya dapat langsung dari petugas jaga dan panitia Festival, katanya ruangan tersebut masih tertutup untuk umum.
Alasannya, karena Ruang Kasana sedang direnovasi demi meningkatkan keamanan pasca pencurian September lalu. Terutama pemasangan kamera pemantau (CCTV). Mendengar jawaban tersebut, tentu membuat saya heran. Masuk akal jika renovasi dan pemasangan kamera dilakukan beberapa hari setelah pencurian.
Namun, saat ini sudah masuk 24 Mei, alias telah lewat delapan bulan lamanya. Dan, dalam periode itu, Ruang Kasana masih tertutup untuk umum! Dalam hati saya tentu bingung. Kemana saja kerja manajemen Museum Nasional selama ini? Padahal, di saat bersamaan, Museum Nasional sedang digunakan untuk festival Hari Museum Internasional dan Memperingati 236 Tahun Museum Nasional Indonesia yang tentu bakal didatangi banyak orang.
Khususnya wisatawan luar negeri yang tertarik dengan peninggalan kebudayaan Indonesia yang sebagian besar disimpan di Museum Nasional. Apalagi, ditambah ketidaksiapan dari manajemen terhadap pengunjung yang datang. Itu saya rasakan sendiri saat menyaksikan banyak rombongan pengunjung yang iseng menyentuh koleksi kuno seperti prasasti hingga banyak anak kecil berlarian di sekitar ruang pajangan mahkota dan barang pecah belah.
Menjadi ironis, sebab saat itu tiada satu pun dari petugas jaga yang mencoba untuk menghimbau atau melakukan teguran agar pengunjung tidak sampai merusak koleksi berharga. Itu diperparah dengan fakta bahwa para pengunjung bebas keluar masuk museum dengan gratis tanpa dimintai tiket. Padahal, sudah jelas di papan informasi tertera keterangan tiket masuk bagi setiap pengunjung. Dewasa Rp 5.000,- dan anak-anak (TK - SMA Rp 2.000).
Beruntung, kekecewaan saya sedikit terbayar ketika menyaksikan rangkaian acara puncak Festival Hari Museum Internasional dan Memperingati 236 Tahun Museum Nasional Indonesia yang telah berlangsung sepekan sejak 17 Mei lalu. Mulai dari pagelaran kesenian tradisional dan modern serta pemutaran beberapa film lawas nasional seperti Cintaku di Way Kambas, Perempuan Berkalung Sorban, dan November 1828. Selain itu, saya juga berkesempatan melihat langsung demonstrasi dan workshop kreativitas budaya Indonesia, melalui seni kriya, batik, dan wayang.
* Â Â Â * Â Â Â *