[caption id="attachment_309655" align="aligncenter" width="432" caption="Ketua KPU, Husni Kamil Manik (foto: www.kompasiana.com/roelly87)"][/caption]
Sejak hari ini, Rabu (4/6) pukul 00.00 WIB masa kampanye  Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden 2014 dimulai. Periode perkenalan dua calon presiden (capres) terhadap seluruh rakyat Indonesia berlangsung sampai Sabtu, 5 Juli 2014. Hingga penetapan yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 31 Mei lalu, terdapat dua capres yang akan bertarung sejak diberlakukan nomor urut (1/6).
Nomor urut satu pasangan capres dan calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Sementara, nomor urut dua adalah Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla. Menyimak perkembangan yang berlangsung di media cetak, elektronik, danonlinesejak 19 Mei hingga kini. Terlihat beberapa antusiasme dari kedua kubu. Mulai dari tim sukses (timses), simpatisan, hingga ke akar rumput yaitu masyarakat awam.
Hanya, belakangan ini pesta rakyat lima tahunan itu cenderung diwarnai dengan aksi saling sindir dari kedua pihak. Mulai dari debat di muka umum, perang kata-kata di media sosial,negative campaign, hingga black campaign. Fakta tersebut menjadi ironi tersendiri mengingat kedua kubu tersebut sejatinya merupakan kawan dekat. Kalau saya tidak salah, bisa dibilang keluarga.
Namun, dalam politik tiada kawan abadi atau lawan sejati. Yang ada hanyalah kepentingan diri sendiri. Itu berlaku jika menelisik lebih jauh hubungan keduanya. Sebab, ingatan saya masih terngiang jelas, pada Pemilu Gubernur DKI Jakarta 2012, yang mengusung Jokowi adalah Prabowo. Begitu juga dengan Pemilu Presiden 2009 ketika Prabowo menjadi cawapres Megawati yang kini berbalik mendukung Jokowi.
Sementara, cawapres Jokowi sekarang, yaitu Jusuf Kalla pada empat tahun lalu merupakan capres yang sempat berhadapan dengan kubu Megawati-Prabowo. Ya, sebenarnya rumit jika memikirkan politik yang tidak bisa diterka. Adakalanya kawan, dan tak jarang berubah menjadi lawan. Intinya, masing-masing pihak saling memiliki kepentingan yang semoga saja demi memajukan Indonesia.
Nah, mengenai pemilu yang bermuatan politis, saya sendiri kurang begitu antusias membicarakannya. Terutama di media sosial seperti Kompasiana yang biasanya saya isi dengan tulisan bertema sosial dan catatan harian. Hanya, pandangan itu berubah setelah beberapa waktu lalu saya bertemu dengan Ketua KPU, Husni Kamil Manik di ruang kerjanya di Gedung KPU, Jalan Imam Bonjol No. 29, Jakarta.
Kebetulan, saat itu saya sedang ada keperluan yang berhubungan dengan pekerjaan sehari-hari mengenai olahraga. Tapi, berhubung 2014 ini bisa disebut sebagai tahunnya perkawinan politik di Indonesia (pemilu) dan sepak bola (Piala Dunia). Maka, perbincangan pun tak jauh dari tema sepak bola dan politik yang merupakan santapan sehari-hari Husni sebagai ketua dari penyelenggaraan pemilu.
Salah satu poin yang saya dapat dari pria kelahiran Medan, 18 Juli 1975 ini ketika menganalogikan pertarungan pemilu (capres) dengan pertandingan sepak bola. Menjadi menarik, mengingat di tengah kesibukannya, Husni tetap antusias meladeni pertanyaan saya. Itu diungkapkan penggemar PSMS Medan dan Semen Padang itu mengenai hasil pemilu 2014.
"Saya menikmati sepak bola Indonesia. Saya berharap semua calon di Pemilu 2014 ini menjunjung tinggi sportivitas seperti di sepak bola. Khususnya dari segi positif, supaya pihak yang kalah ikhlas menerima dan yang menang tidak menjadi jemawa," ujar Husni memberi pesan.
Alumnus Universitas Andalas, Sumatera Barat ini berharap pemilu 2014 berjalan lancar tanpa ada hambatan. Sebelumnya, tahun lalu Husni juga berencana mensosialisasikan pemilu melalui kegiatan sepak bola agar lebih diserap masyarakat luas. Salah satunya untuk mengadakan nonton bareng (nonbar) dengan beberapa pihak terkait.