[caption id="attachment_345175" align="aligncenter" width="295" caption="Otobiografi Bung Karno cetakan pertama (Sumber foto: dokumentasi pribadi/ www.kompasiana.com/roelly87)"][/caption]
GAJAH mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggalkan nama. Adagium itu layak disematkan kepada Proklamator sekaligus Presiden pertama Indonesia, Soekarno (Sukarno). Meski sosoknya telah lama tiada, tepatnya ketika mengembuskan nafas terakhir pada hari Minggu, 21 Juni 1970. Namun, karisma sang "putra fajar" hingga kini tetap abadi. Termasuk saya pribadi yang sejak kecil mengidolakan figur yang dikenal tegas namun bersahaja ini.
Maka, tak heran jika pagi yang hujan pada Senin pekan lalu, saya sangat senang ketika mendapat kiriman majalah Tempo dari tukang koran langganan saya. Bisa dipahami mengingat saat itu Tempo edisi 29 Desember 2014 itu membahas tokoh yang pada era 1960-an ini sukses membuat nyali Amerika Serikat (AS), Inggris, dan sekutunya ciut: Sukarno!
Ya, bagi saya, Tempo edisi akhir tahun itu memang salah satu edisi paling menarik yang pernah saya baca sepanjang 2014. Betapa tidak, cover-nya saja sudah diberi judul yang menggoda: Cindy Adams Bicara - Benarkah penulis otobiografi Sukarno itu agen CIA? Untuk individu yang menyukai teori konspirasi, sudah tentu bakal melahab habis laporan utama yang disajikan sepanjang 11 halaman tersebut.
Nah, bagi saya ada yang mengganjal ketika membaca secara runut tiga artikel Tempo itu. Bukan soal tudingan agen CIA, kisah pribadi Cindy Adams, detik-detik akhir kejatuhan Sukarno, atau mengenai kehidupan keluarga besarnya. Melainkan tentang misteri "paragraf setan" dalam otobiografi Sukarno berjudul "Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams" yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh -saat itu- Mayor TNI AD Abdul Bar Salim, menjadi "Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia".
Bukan kebetulan mengingat saya memang memiliki otobiografi tersebut yang merupakan edisi pertama pada 1966 dengan judul masih memakai ejaan lama, "Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia". Yang menarik ketika Tempo membeberkan adanya ketidak beresan pada otobiografi itu akibat penambahan dua paragraf dibanding versi aslinya dalam bahasa Inggris.
Meski hanya dua paragraf saja yang bisa jadi tidak memengaruhi isi buku atau soal pandangan masyarakat umum terhadap Indonesia. Namun, menurut saya pribadi, memang tambahan tersebut bisa menimbulkan perpecahan. Mengapa? Karena pada halaman 332, Sukarno terkesan meremehkan peran Mohammad Hatta saat proklamasi kemerdekaan. Tentu, saja, dua paragraf itu mengundang polemik dari berbagai kalangan, khususnya sejarawan. Saya sendiri baru merasa aneh ketika sudah tiga kali membaca otobiografi tersebut.
Tempo menuturkan bahwa, pada 2001, sejarawan Syafii Maarif juga penah marah-marah di hadapan keluarga Bung Karno saat acara peringatan 100 tahun Bung Karno. Kata Bung Syafii, Bung Karno mengecilkan peran Bung Hatta. Berikut dua paragraf yang menjadi kontroversi itu yang saya kutip dari otobiografinya:
Tidak ada orang jang berteriak "Kami menghendaki Bung Hatta". Aku tidak memerlukannja. Sama seperti djuga aku tidak memerlukan Sjahrir yang menolak memperlihatkan diri disaat pembtjaan Proklamasi. Sebenarnja aku dapat melakukannja seorang diri, dan memang aku melakukannja sendirian. Di dalam dua hari jang memetjahkan uratsjaraf itu maka peranan Hatta dalam sedjarah tidak ada.
Perananja jang tersendiri selama masa perdjoangan kami tidak ada. Hanja Sukarnolah jang tetap mendorongnnja kedepan. Aku memerlukan orang jang dinamakan "pemimpin" ini karena satu pertimbangan. Aku memerlukannja oleh karena aku orang Djawa dan dia orang Sumatra dan dihari-hari jang demikian itu aku memerlukan setiap orang denganku. Demi persatuan aku memerlukan seorang dari Sumatra. Dia adalah djalan jang paling baik untuk mendjami sokongan dari rakjat pulang jang nomor dua terbesar di Indonesia.
* Â Â Â * Â Â Â *