[caption id="attachment_260375" align="aligncenter" width="351" caption="Tampilan Intisari 20 tahun lalu yang pernah saya lihat (intisari-online.com)"][/caption] Majalahnya kecil. Terbit satu bulan sekali. Harga relatif murah dan bisa dikatakan jarang naik dibanding media sejenis. Namun isinya sarat pengetahuan yang membuat pembaca kian penasaran untuk segera melahap halaman demi halaman. Mulai dari kesehatan, teknologi, olahraga, hingga kisah inspiratif, termasuk beberapa kuis dan kartun segar. Khususnya artikel paling menarik yang terdapat di halaman akhir, Lentera. Ya, itulah majalah Intisari yang genap berusia 50 tahun pada 17 Agustus lalu. Siapa sangka majalah seukuran komik saku ini merupakan salah satu media yang paling lama beredar di tanah air. Sejak diterbitkan lima dekade lalu, Intisari mampu beriringan bersama enam Presiden Indonesia. Banyak alasan yang membuat majalah yang kini berukuran 135 x 210 mm itu terus bertahan. Salah satunya faktor loyalitas dari mayoritas pembacanya yang terdiri dari semua kalangan. Baik dewasa, ibu rumah tangga, remaja, hingga anak-anak suka membaca majalah yang terbit bulanan ini. Termasuk di dalam keluarga saya. Sejak awal 1990-an ketika sudah bisa membaca, Intisari menjadi salah satu bacaan saya yang hampir selalu ada setiap bulannya. Bila Ayah sangat menggemari majalah Tempo dan Forum Keadilan. Ibu menyukai Femina dan Kartini. Sementara saya dengan Bobo dan Fantasi. Intisari merupakan bacaan semua anggota keluarga yang ada di rumah. Kendati saya tidak terlalu membaca hampir semua rubrik. Khususnya kriminal dan artikel dewasa yang tentu belum bisa dikonsumsi di bawah usia 15 tahun. Namun, saya masih ingat dengan rubrik Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar, oleh JS Badudu yang sangat membingungkan tapi justru membuat penasaran untuk berpikir. Begitu juga dengan artikel berbau sejarah yang sudah tentu paling saya sukai. Kalau tidak salah pada pertengahan 1990-an terdapat berita heboh mengenai tentara Cina yang terbuat dari tanah liat. Puncaknya di awal milenium baru ketika sosok Jaya Suprana ikut menulis di Intisari melalui rubrik yang sangat populer: Kelirumologi.
* Â Â * Â Â *
Lima dekade telah berhasil dilewati. Ketika saya coba browsing melalui internet, ternyata hanya sedikit media seperti koran atau majalah di Indonesia yang bisa bertahan dalam rentang waktu setengah abad tersebut. Salah satunya Intisari. Dulu, saya harus menunggu pada awal bulan agar bisa membacanya. Atau harus mengumpulkan uang untuk membeli setelah mengetahui di rumah tidak lagi berlangganan. Kini, setelah belasan tahun berlalu, untuk membaca Intisari sangat mudah. Sebab, selain tersedia versi cetak yang banyak dijual di kios koran. Intisari juga bisa dinikmati secara utuh dalam bentuk digital yang terdapat di berbagai toko online, Wayang Force, Gramedia Majalah Shelf, atau Scoop yang kini sedang ngetrend. Di sisi lain, saya sendiri merasa kurang tertarik dengan berita yang ditayangkan di situs resminya. Selain artikelnya sering kurang update, tampilannya juga tidak begitu "wah" layaknya situs besar lainnya. Meski begitu, keberadaan Intisari dalam 50 tahun atau lima dekade, atau setengah abad menjadi kisah tersendiri bagi pelaku dan pembacanya. Saya sendiri berharap ditengah gempuran media online, Intisari masih bisa terus terbit pada usia ke-60, 70,  dan seterusnya hingga genap mencapai satu abad pada 17 Agustus 2063. Apakah itu akan menjadi kenyataan? Dengan kedekatan dan loyalitas pembaca yang tak lekang digerus zaman, tentu hal itu bisa terealisasikan.
* Â Â * Â Â *
Referensi: - Cinta Mati Kepada Majalah Intisari - Selamat Ulang Tahun Intisari
* Â Â * Â Â *
Jakarta, 19 Agustus 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H