Mohon tunggu...
Rickman Roedavan
Rickman Roedavan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Penulis, Game Developer

Dosen Telkom University, Penulis Buku Unity Tutorial Game Engine, Construct2 Tutorial Game Engine, The Astrajingga Awakens, Seri Kiky Si Kancil, Arassi, dan Fantasy Fiesta

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menjaga Eksistensi Industri Komik Indonesia

16 Desember 2016   05:29 Diperbarui: 4 Mei 2017   14:44 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Komik Indonesia Jaman Dulu| WOW Komik

Komik Indonesia pernah berjaya di era tahun 70-an. Saat itu teknologi belum terlalu canggih seperti sekarang. Acara televisi baru ada segitu-gitunya. Belum ada internet, komputer, laptop apalagi gadget. Satu-satunya hiburan murah meriah yang digandrungi anak-anak di masa itu adalah komik. Komik tipis berdimensi kira-kira 20x15 cm dengan ketebalan kurang dari 0.5 cm menjadi salah satu pelopor kelahiran industri kreatif di subsektor penerbitan dan percetakan. Dengan kualitas cetak yang seadanya dan gambar yang hitam putih,  komik-komik khas Indonesia pada jaman itu telah menjadi legenda luar biasa di tanah air.

Legenda yang kemudian menjadi mitos. Mitos yang kemudian menjadi terlupakan.

Serbuan komik-komik Perancis, Amerika dan Jepang pada tahun 90-an menjadi satu buah serangan telak yang 'membunuh' para seniman komik Indonesia secara perlahan. Tidak bisa dipungkir jika mereka terlena. Ketenaran dan popularitas komik Indonesia di masa itu telah membuat para komikus tidak terlalu perduli dengan 'serangan' dari negara tetangga. Seolah mereka lupa jika mereka adalah seorang komikus, bukan bisnisman.

Sejatinya industri komik adalah sebuah industri yang menuntut tiga komponen untuk menjaga eksistensinya. Komponen yang kadang dilupakan oleh para komikus, atau kala itu mereka belum menyadarinya. 

Komponen pertama adalah komponen teknis yang mutlak harus dimiliki oleh seorang komikus. Dalam komik inti masalahnya bukan terletak gambar yang bagus, proporsi yang sempurna atau tingkat kedetailan yang tinggi, melainkan ciri khas dari sang komikus sendiri. Ini soal style, selera dan karisma. Disadari atau tidak setiap komikus pasti mengawali karirnya dengan meniru, mencontek atau menduplikasi gaya seseorang. Itu tidak masalah. Yang penting seiring berjalannya waktu dia harus menemukan gayanya sendiri dalam menggambar. Gaya yang mewakili nama besarnya kelak. Untuk komponen pertama hampir semua komikus di  era 70-an sudah menyadarinya. 

Komponen kedua adalah komponen bisnis yang justru menjadi tulang punggung industri komik. Jika sudah berbicara soal industri, maka wajib hukumnya berbicara marketing plan, promotion, revenue stream dan cash flow management. Benar komikus adalah artis yang tugasnya hanya menggambar. Dia tidak perlu disibukkan dengan hal-hal berbau akuntansi .   Justru disinilah masalahnya. Seorang komikus harus tahu skema bisnis komik yang dijalanninya. Selain dapat menambah wawasan dan sudut pandangnya, hal ini juga dapat membuat sang komikus memiliki jadwal optimal untuk menyelesaikan setiap lembar halaman komiknya. Komikus harus memahami jika setiap keterlambatan yang dia lakukan bukan hanya berdampak pada dirinya sendiri tetapi juga pada industri komik pada keseluruhan. 

Komponen ketiga adalah komponen emosi yang acap kali sering diabaikan. Lagi-lagi hal ini disebabkan oleh ego yang luar biasa dari para komikus yang tidak menyadari jika karya mereka seharusnya dapat memuaskan para pembacanya, dan bukan memuaskan ambisi pribadi. Tidak masalah menjadi idealis dengan harapan dicap sebagai komikus nyeleneh yang memiliki ie-ide liar dan sebagainya. Tidak masalah jika ingin mencari beragam pengakuan dari sesama rekan komikus dan komikus senior. Tapi sejatinya audience seorang komikus adalah pembaca yang sebagian besar tidak memiliki kemampuan menggambar. Jika mereka tidak suka atau memberi kritikan, janganlah mencari pembelaan melainkan carilah solusi terbaik setelah mencerna semua masukan dan kritikan itu dengan bijak.

Hanya satu dari ketiga komponen tersebut yang dilakukan oleh para komikus jaman dulu. Hasilnya, kita kalah. Paradigma bisnis yang dilakukan para importir jauh lebih kuat untuk membantai kekuatan supply komik Indonesia dalam sekali libas. Industri ini pernah mati, satu kali.

Tapi kini akan bangkit lagi.

Seperti seekor phoenix yang tewas dan menjelma kembali dari abunya yang penuh debu. Komik Indonesia akan kembali bangkit dan merebut kembali kejayaannya seperti dulu kala. Dengan format yang sama, dengan gaya yang sama, dengan nuansa yang sama, komik-komik berdimensi kecil itu akan membuncah dan menjadikan kota Bandung sebagai kota lautan komik sekali lagi. 

Komik Indonesia akan bangkit lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun