Semakin santer berita tentang Golkar yang akan  merapat ke PDIP. Apakah ini niat tulus atau hanya sekedar manuver tipu-tipu di menit terakhir yang dilakukan oleh Golkar atau ARB, seharusnya petinggi PDIP benar-benar mencermati hal ini.
PDIP harus cermat berhitung untung ruginya jika partai pemenang nomor 2 di pileg 2014 ini bergabung dalam gerbong politiknya, apakah dengan Golkar akan menambah perolehan suara signifikan di Pilpres Juli mendatang atau malah sebaliknya mengembosi perolehan suara PDIP di akar rumput.
Harus diingat, jargon; "PDIP No, Jokowi Yes" itu adalah bukti ketidak-percayaan rakyat terhadap partai (tidak hanya kepada PDIP saja) tetapi berharap kepada figur seseorang. Jika mencermati hal ini, bisa jadi saat Pilpres nanti Jokowi juga akan mendapatkan 'tumpahan' suara dari akar rumput partai lain walau partai tersebut tidak ada dalam gerbong PDIP saat ini.
Mencermati hal lain pula, saat Nasdem, kemudian PKB bergabung dengan PDIP mendukung Jokowi, komentar pembaca dalam berita online, sosial media tidak terlalu bergejolak bahkan cenderung memihak. Berbeda saat wacana Golkar akan merapat dan bergabung dengan PDIP, gejolak psikologis penolakan sangat terasa pada kolom komentar berita online dan sosial media tersebut, bahkan politisi senior PDIP, Sabam Sirait, meragukan dan menyarankan agar Golkar menjadi partai oposisi saja sebagai penyeimbang dalam pemerintahan nanti.
PDIP, dengan Nasdem dan PKB sebenarnya sudah sangat cukup untuk mengusung Jokowi dan Abraham Samad menjadi capres dan cawapres pada Pilpres 9 Juli mendatang. Jika pemilih PDIP, Nasdem, PKB solid, hanya dibutuhkan 16,29 persen kekurangan suara untuk mencapai angka 51 persen. Akan mudah didapat dari tumpahan suara akar rumput partai lain yang memilih figur calon, apalagi jika ditambah nilai elektabilitas Jokowi yang diatas 30 persen dan beberapa persen dari golput Pileg yang kemungkinan juga akan memilih untuk calon presiden.
Saya meyakini, hitung-hitungan PDIP beserta teman kerjasamanya dan tim pemenangan Pilpres akan lebih cermat, akurat dan teliti dibanding opini artikel ini, Â (bahkan) berani menargetkan perolehan suara sebesar 70 persen pada Pilpres nanti sebelum muncul wacana Golkar merapat ke PDIP. Apakah dengan diterimanya Golkar dalam gerbong kerjasama ini, secara otomatis akan menggenapkan perolehan suara menjadi 100 persen? Pastinya tidak mungkin dan bukan seperti itu cara berpikirnya.
Berkembang kabar bahwa alasan PDIP mau menerima Golkar karena upaya untuk Pilpres mendatang nanti hanya memunculkan dua calon presiden, dengan bergabungnya Golkar dalam gerbong PDIP maka sisa partai yang ada tidak akan cukup membuat poros baru. Hal tersebut dapat terjadi jika PKS tetap bergabung dengan Gerindra di koalisi tenda besarnya, tetapi jika PKS yang kabarnya tidak puas dengan keputusan Gerindra mengambil PAN sebagai cawapresnya kemudian membelot dan bergabung dengan Demokrat, skenario ini menjadi mentah.
Memang secara psikologis politik petinggi gerbong PDIP, hitung-hitungan apapun akan lebih menenangkan hati jika partai sebesar Golkar dapat bersama dengan mereka, tetapi bagaimana dengan psikologis pemilih akar rumput yang mungkin 'tidak rela' jika jagoannya nanti harus bekerjasama dengan partai yang dianggap tidak membela kepentingan rakyat?
Belum lagi kubu lawan akan semakin mudah meramu isu tersebut dengan tujuan membuat rasa gamang, utamanya kepada pemilih muda yang cenderung idealis pemikirannya. Apakah alasan menerima Golkar agar tidak ada kesempatan poros ketiga terbentuk akan mudah diterima oleh pemilih idealis ini? Pastinya mereka menginginkan penjelasan lebih dan masuk akal.
Saya berkeyakinan jika PDIP benar berniat menerima Golkar dalam gerbong politiknya, bersama Nasdem dan PKB, dapat memberi penjelasan secara jujur dan terbuka kenapa keputusan tersebut diambil dan meyakinkan bahwa keputusan tersebut tidak akan membebani pemerintahan Jokowi jika menang terpilih, kemungkinan besar para pemilih Jokowi tidak akan terlalu mempermasalahkan.
Saya sangat berharap, dengan waktu yang sudah sangat mepet ini, PDIP dan teman kerjasamanya dapat bijaksana mengambil keputusan untuk wacana ini, jangan sampai pada akhirnya hanya menjadi blunder politik saja yang ujung-ujungnya berakibat merubah jargon yang ada saat ini; "PDIP No, Jokowi Yes" menjadi; "Kerjasama No, Jokowi No". Jika hal ini terjadi, berapapun jumlah partai yang diterima oleh PDIP untuk bekerjasama, tidak akan berarti apa-apa.