Debat capres putaran keempat, Minggu (29/6/2014), khusus hanya menampilkan cawapres dari masing-masing capres sudah berakhir, seperti biasa ada beberapa catatan yang dapat kita cermati dan menarik untuk dibahas.
Saya melihat debat capres putaran keempat ini melalui layar TV di rumah, karena kemarin adalah hari pertama berpuasa dan saya memilih tinggal di rumah untuk berbuka puasa bersama keluarga setelah hampir empat minggu ini, karena kebaikan hati beberapa sahabat saya di koalisi pendukung Jokowi-JK, sehingga saya dapat ikut dalam rombongan kampanye Jokowi di wilayah Jawa.
Catatan debat kali ini, waktu debat dimundurkan pukul 20.30 karena menunggu selesai sholat tarawih, penampilan dan penyampaian masing-masing cawapres relatif baik dan normatif pembahasannya, menarik moderator debat kali ini seorang wanita yang di tiga kali debat sebelumnya pria. Tadinya saya berpikir dengan moderator seorang wanita, debat akan terasa hidup dan lebih menarik dari debat-debat sebelumnya, tetapi malah sepertinya moderator tidak siap dan nervous.
Saya mendengar yel-yel para pendukung kedua kubu lebih ramai dibanding debat-debat sebelumnya, ketika saya tanyakan (sesudah acara tersebut, via phone) kepada sahabat yang memang hadir di acara tersebut, dikatakan bahwa memang suasananya cenderung bebas dibanding sebelumnya sehingga yel-yel, teriakan bahkan suara bernada cemooh, seperti kata; "huuu..huuuuu...." lebih sering terdengar dari masing-masing pendukung kedua kubu yang memang disiapkan sebagai tim hore.
Menarik adalah sepanjang debat berlangsung, terdengar jelas teriakan keras kata; "bung Hatta....., bung Hatta....., bung Hatta.....", teriakan kata tersebut dijadikan yel-yel semangat untuk cawapres Hatta Rajasa. Mendengar kata tersebut, saya teringat beberapa waktu yang lalu saya pernah membaca berita di media cetak, bahwa timses dari pasangan bukan Jokowi-JK ini memang ingin 'memperkenalkan' sosok yang diusungnya kepada masyarakat seperti pasangan Soekarno-Hatta.
Jika benar seperti itu, artinya teriakan kata; "bung Hatta" itu adalah cerminan keinginan hal tersebut. Saya tidak dalam posisi meng-underestimate seorang Hatta Rajasa, tetapi rasanya jika ada seseorang atau kelompok yang ingin mensejajarkan seorang Hatta Rajasa dengan tokoh proklamator, pahlawan bangsa, seperti (bung) Mohammad Hatta, rasanya seseorang atau kelompok tersebut tidak pernah belajar sejarah pahlawan negeri ini.
Sebenarnya tidak menjadi masalah jika semangat perjuangan dari kedua tokoh bangsa ini, Soekarno-Hatta, dijadikan dasar semangat bagi kubu bukan Jokowi-JK untuk memenangi pertarungan pilpres nanti. Tetapi pada kenyataannya kubu ini lebih kepada mengindentikkan diri bahwa pasangan capres dan cawapres-nya adalah sama dengan pasangan Soekarno dan Mohammad Hatta.
"Apakah Soekarno layak disamakan
dengan capres yang diusung koalisi merah putih ini?"
"Apakah Mohammad Hatta layak disamakan
dengan cawapres yang diusung koalisi merah putih ini?"
Bukankah lebih baik jika capres dan cawapres dari koalisi merah putih ini menjadi diri sendiri dalam meraih simpati rakyat pemilih daripada harus menjadi orang lain? Kemudian mengabarkan kepada rakyat pemilih dalam setiap kampanye untuk meraih simpati tentang prestasi dan keberhasilan masing-masing yang layak disampaikan agar rakyat pemilih mengetahui dan memilihnya?
Contoh seperti Jokowi, dalam setiap kampanye menjadi diri sendiri, mengabarkan kepada rakyat pemilih tentang keberhasilan yang dapat dipertanggung-jawabkan saat menjadi walikota atau gubernur. Ketika berbicara tentang program-program yang akan dijalankan jika terpilih menjadi presiden negeri ini, bagi rakyat kecil yang membutuhkan sangat masuk akal dan dapat dilihat faktanya.