Ahok bilang silahkan datang ke Jakarta. Bawa modal yang banyak dan harus pintar berusaha. Begitu statemen ahok, melihat kebiasaan kota Jakarta bila sesudah lebaran akan kedatangan wajah-wajah baru dari kampung. Tentu saja tujuan mereka mencari pekerjaan yang menurut anggapan mereka di Jakarta lah tempat di mana kita mudah mendapat pekerjaan.
Jakarta adalah tempat orang-orang mencari solusi dari problem hidup di kampungnya. Saya pernah satu bus jurusan Jakarta seminggu sebelum lebaran. Saya ajak ngobrol dia. Saya gali informasi apa yang membuat dia pergi ke Jakarta. Bahasa klasik yang ia sampaikan adalah kebutuhan mendesak untuk lebaran. Kebetulan keahliannya menarik bajaj. Sementara di kampung ia menggarap sepetak sawah dari bekas hutan yang sudah gundul. Biasanya ia selalu untung. Minimal bisa untuk menghidupi keluarganya, hanya karena kurang mencukupi buat saudara-saudaranya (karena tradisi di kampung yang lebih muda mengasih gula teh ke orangtua apabila lebaran tiba) akhirnya solusinya adalah Jakarta.
Jakarta adalah gaya orang-orang yang bergegas, menerabas dan mencuri kesempatan. Lain waktu saya datang ke Jakarta dengan posisi waktu dini hari. Tentu saja jalanan tidak macet dan angkutan kota belum banyak yang jalan. Saya turun di terminal bekasi, kebetulan teman duduk saya orang klampok brebes yang sudah menetap dan bekerja di Jakarta sejak tahun 1992, tapi dari gaya ngomongnya aksen Jakartanya tidak kelihatan, ngomong bahasa daerah logatnya masih membumi. Saya diberi petunjuk dia di mana saya harus naik angkutan dan berapa saya harus membayar. Informasi ini saya gali karena saya sudah lama tidak menginjakkan kakinya ke Jakarta. Informasi ini penting karena sopir2 ini yang dari gaya bahasanya dari ranah luar pulau jawa suka memanfaatkan kepolosan penumpangnya. Dan itu terjadi, pada anak-anak muda dari kampung yang mungkin belum tahu persis gayanya Jakarta. Mereka kasih ongkos uang lima puluh ribuan. Ketika mereka minta kembalian, dengan enteng sopirnya bilang satu orang 10ribu. Anak kampung itu cuma melongo, si sopir langsung tancap gas. Batinku; saya yang lebih jauh bayarnya cuma tiga ribu, dia diam saja. begitulah Jakarta.
Lain lagi perilaku orang ketika kita salah jalan atau menghalangi perjalanan motornya. Orang tersebut langsung marah-marah. Banyak kejadian-kejadian yang di luar kebiasaan kehidupan di desa, yang ayem dan tidak neko2. Anak-anak bau kencur (seumuran anak smp) dini hari masih keluyuran dengan dandanan seksi celana pendek dan kaos ketat. make up sedikit menor. Mereka enteng saja bergaul dengan sopir-sopir angkutan dan pedagang asongan. Dari gaya ngomongnya yang jorok sudah diduga kemana arahnya mereka bergaul; jual diri untuk senang2 beli rokok atau snack di mini market.
Dan masyarakat Jakarta memandangnya sudah hal biasa. lu lu gue gue. Jakarta memang perpaduan dari banyak suku bangsa dengan tekanan kemacetan, tergesa-gesa dan menerabas seenak wudelnya. Gaya Jakarta apapun bisa duit asalkan punya mental baja. Jangan takut gertakan. Kalau perlu andalah yang lebih dulu menggertak. Itulah irama dan gaya Jakarta; cepat, tergesa-gesa, menerabas dan mencuri kesempatan.****(pcstudispress.28082014)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H