Menengok ke BelakangÂ
Peradaban manusia tidak lepas dari kontroversi yang tidak jarang menelurkan pemikiran-pemikiran pragmatis yang kemudian menautkan pertentangan antara nurani kemanusiaan dan insting hewani. Kedua istilah cetak tebal tersebut akan saya jelaskan sebagai berikut :
Nurani kemanusiaan dalam pemahaman saya adalah pergumulan dimensi epistemic yang bermain dalam bangunan pengetahuan manusia dengan dimensi intuitif  yang juga merupakan bentuk pengetahuan yang lebih tinggi.Â
Pengetahuan yang "lebih tinggi" atau second level ini oleh para spiritualis, terlebih kaum idealis, menyebutnya sebagai pemberian Tuhan atau merupakan dialektika dari pengetahuan tertinggi (dari Tuhan) dan pengetahuan manusia.Â
Oleh karena itu, pengetahuan intuitif adalah pengejawantahan sekaligus identik dengan pengulangan memori asali yang bersumber dari Tuhan. Selanjutnya memori tersebut terhubung dengan realitas yang ada, sehingga kita terkadang merasa puas dan menganggap hal yang bagi kebanyakan orang tidak masuk akal menjadi seolah masuk akal. Peneguhan kepercayaan semacam ini sulit untuk dijelaskan kepada orang lain.
Ketika akal dengan sekelumit parameternya yang melekat pada diri subjek yang sedang melakukan objektifikasi terhadap objek berusaha sekuat tenaga untuk agar bisa dikatakan liberal, maka pada saat itu pula terjadi pergulatan dengan intuisi atau ide mutlak yang pada akhirnya menjadi hal yang kontradiksi.Â
Pendapat saya tentang intuisi bisa dibandingkan dengan pendapat Hegel tentang akal. Bahwasanya akal adalah kepastian yang sadar tentang semua realitas yang berada."Â
Analoginya adalah bahwa seseorang di tengah keramaian entah itu kelompoknya atau bukan, tidaklah merepresentasikan semua realitas karena secara indiviual ia bukanlah sepenuhnya yang nyata, tetapi yang nyata padanya adalah partisipasinya dalam realitas sebagai keseluruhan. Oleh sebab itu, ketika kita menjadi lebih rasional, partisipasi ini meningkat sesuai dengan proporsinya (Russell, 2007:956).
Idea yang mutlak, yang padanya logika berujung, adalah sesuatu yang mirip dengan Tuhannya Aristoteles. Yang mutlak tidak dapat memikirkan apa-apa selain memikirkan dirinya sendiri, karena tidak ada yang lain, kecuali pada pemahaman realitas secara parsial dan keliru. Ruh (spirit) adalah satu-satunya realitas, dan bahwa pikirannya dipantulkan ke dalam dirinya sendiri oleh kesadaran-diri (Russell, 2007:957).
Dengan demikian, kondisi otentik manusia adalah nurani kemanusian karena pengetahuan yang pure rasional dengan pengetahuan intuitif bekerja dengan seimbang.Â
Manifestasinya adalah ketika manusia melihat dan menyadari dirinya sebagai realitas yang ilusif karena realitas yang sesungguhnya ada adalah bukan parsial melainkan keseluruhan realitas yaitu mencakup manusia sebagai partikel parsial dengan sekelilingnya atau lingkungannya yang terdiri dari the others baik itu benda hidup maupun benda mati.Â