Mohon tunggu...
Ahmad Ramdhani
Ahmad Ramdhani Mohon Tunggu... Konsultan - Freelance writer

Seorang Pembelajar di bidang kesehatan mental. (cek ig @wellbeing.shelter).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melanesia, Potret Rasisme di Indonesia

19 Mei 2020   16:22 Diperbarui: 19 Mei 2020   17:26 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : tirto. id

oleh : Ahmad Ramdhani

Siapakah ras manusia modern yang paling lama menetap di indonesia ? 

Dilansir dari zenius.net manusia modern (baca : homo sapiens) pertama yang berada di indonesia merupakan pendatang yang berasal dari benua afrika sekitar 100ribu tahun lalu. Dalam peradaban modern ras manusia ini dikenal sebagai ras melanesia.

Melanesia berasal dari bahasa Yunani yang artinya "pulau hitam", kata ini merujuk pada gugus kepulauan yang memanjang dari Papua dan Aru lalu ke timur sampai Pasifik bagian barat, serta utara dan timur laut Australia yang dihuni oleh orang-orang berkulit gelap atau hitam. Istilah ini pertama kali digunakan oleh penjelajah Prancis bernama Jules Dumont d'Urville pada 1832. 

Didalam siaran podcast youtube deddy corbuzier bersama arie kriting (15 mei 2020) dijelaskan bahwa pada masa sekarang ras melanesia di indonesia adalah kelompok etnis kulit gelap yang tersebar di beberapa wilayah timur indonesia yaitu papua,maluku, hingga sulawesi. Berangkat dari pemahaman ini kita tahu bahwa ras melanesia adalah "pribumi pertama" di nusantara.

Menjadi pribumi tertua di indonesia tidak menjadikan ras melanesia menjadi superior dari ras-ras lain di indonesia sendiri. Bahkan seperti yang kita tahu ras melanesia di indonesia cenderung digolongkan ras terbelakang dan acap kali mendapat perlakuan diskiriminatif oleh saudara sebangsa-setanah airnya. Mari kita menilik salah satu kasus lintas budaya terkait kaum (baca : ras) melanesia yang tengah hangat di indonesia beberapa bulan yang lalu.

Bulan agustus 2019, beberapa hari sebelum peringatan kemegahan merdekanya tanah air, indonesia kembali berkabung atas kekerasan rasial yang terjadi di surabaya. Kasus ini merupakan ekses dari minimnya pemahaman lintas budaya dan primordialitas masyarakat atas ras melanesia yang sejatinya adalah saudara setanah air. Pusat dari kasus tersebut adalah tiang dan bendera merah putih yang jatuh ke selokan dan menyebarnya berita hoax bernada rasis mengenai mahasiswa papua di salah satu asrama di surabaya. 

Bagaimanakah awal kegagapan lintas budaya ini bermula ?

Dilansir dari BBC indonesia, pada 15 agustus 2019 Sejumlah pejabat dan personel Satpol PP Kecamatan Tambaksari, surabaya datang ke pondokan mahasiswa Papua yang kerap disebut Asrama Kamasan. Mereka datang bersama personel Koramil dan Polsekta Tambaksari. Kedatangan tersebut bermaksud untuk memasang bendera merah putih didepan asrama . Tidak ada konflik maupun ketegangan pada hari pemasangan bendera tersebut.

Keesokan harinya, 16 agustus, tiang bendera berpindah tempat hingga akhirnya diputuskan untuk melakukan pengecoran tiang bendera baru dilokasi yang sama oleh anggota satpol pp, polisi serta tentara tak berseragam sekitar pukul 09.00 wib.

Pada hari yang sama, sebelum pukul 4 sore rombongan pejabat kecamatan, koramil, dan polsekta Tambaksari kembali datang ke asrama. Pemicunya, tiang bendera yang mereka pasang bengkok ke arah tanah. Bendera Merah Putih yang terpasang pada tiang itu menyentuh got di depan pagar asrama, tidak diketahui apa penyebab dan siapa yang merusak tiang bendera tersebut. 

Pimpinan rukun warga menyebut kondisi tiang dan bendera itu difoto oleh seseorang dan menyebar di grup Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan Pacar Keling, Tambaksari.

Buntut dari kejadian tersebut, dihari yang sama terjadi pengepungan asrama papua oleh satpol pp, polisi, tni, ormas dan warga setempat dengan dalih mencegah terjadinya usaha tindakan separatis. Dalam pengepungan dihari itu, terjadi lontaran caci-makian rasial dan lemparan batu dari orang-orang di luar asrama, termasuk oleh aparatur keamanan.

Pengepungan asrama kian belanjut hingga keesokan harinya. Pada 17 agustus, tepat diperingatan hari kemerdekaan indonesia, Sekitar pukul 13.00, puluhan orang berkumpul di depan asrama Kamasan. Selain aparat, warga sipil tampak mengenakan seragam ormas. Kata-kata rasial masih terdengar dalam momentum itu.

 Menjelang jam tiga siang, kepolisian mengeluarkan peringatan agar penghuni asrama keluar dan menyerahkan diri ke aparat. Tak lama sesudahnya, mereka menembakkan gas air mata ke arah asrama. Setelah mendobrak gerbang, aparat Brimob bersenjata laras panjang masuk asrama. Personel Brimob lalu menggiring 43 orang dari kelompok mahasiswa Papua ke truk polisi dan membawa mereka ke markas Polda Jawa Timur untuk diamankan.

Kronologi diatas menyisakan pertanyaan bagi penulis, "apa yang membuat warga setempat menarik kesimpulan jika mahasiswa papua diasrama ingin melakukan tindakan separatis ?".

Dalam berita yang sama, Pimpinan RW di kawasan asrama Kamasan menyebut imbauan pengibaran bendera Merah Putih diberikan kepada masyarakat sebelum Agustus ini. Pimpinan RW yang meminta namanya tak disebut itu berkata, "Tanggal 1 Agustus warga sudah harus mengibarkan bendera. Saya imbau, 'ayo pasang'. Tapi kalau tidak mau pasang ya tidak apa-apa," ujarnya.

 Jika kita mengesampingkan prasangka bahwa yang menjatuhkan bendera adalah penghunia asrama, maka menurut saya sikap yang diambil oleh penghuni asrama terkait pemasangan bendera cukup kooperatif, tidak ada penolakan. 

Sahura, mahasiswa asal surabaya yang juga perwakilan kontraS yang ada ditempat saat perkara terjadi menuturkan "Mereka kan tidak menolak saat tiang bendera itu dipasang. Mereka juga bilang, 'Kami baru tahu ada aturan seperti itu',". (BBC - red) 

Konklusi yang bisa penulis ambil dari penuturan tersebut adalah bisa saja terdapat perbedaan budaya antara masyrakat surabaya dengan papua dalam hal memperingati hari kemerdekaan indonesia, sehingga penghuni asrama dalam hal ini warga papua tidak melihat memasang bendera sebagai budaya dalam memperingati hari kemerdekaan indonesia.

 Lantas, apabila benar hal itu adalah budaya yang beredar di tanah papua, apakah hal tersebut adalah kesalahan ?

Menurut penulis, jika dilihat dari perpesktif lintas budaya, adalah sah jika rakyat papua tidak menganggap memasang bendera sebagai hal yang urgent. 

Apabila berbicara mengenai kemerdekaan indonesia, Tentunya kita juga tidak dapat menutup mata bahwa rakyat papua belum merasakan makna "kemerdekaan" seperti yang dirasakan oleh orang-orang indonesia di provinsi lain. Terlebih surabaya yang dalam hal ini termasuk dalam gugusan pulau jawa merupakan pusat pembangunan indonesia sejak awal kemerdekaan hingga sekarang. 

Berdasarkan perbedaan benefit meningkatnya "standar kelayakan hidup" selama kemerdekaan berlangsung antara masyarakat indonesia bagian barat dengan bagian timur jelaslah terdapat perbedaan dalam menghayati makna kemerdekaan dimasing-masing belahan indonesia tersebut. Dan hal tersebut merupakan hal yang wajar untuk dimaklumi, terlebih dalam konteks pendekatan lintas budaya. 

Kembali pada judul mengenai Melanesia dan Rasisme di Indonesia, praktik rasisme dan diskriminatif terhadap kaum melanesia (baca: kulit gelap) di Indonesia seakan sudah lumrah dan dibiarkan terjadi, bahkan dalam kondisi yang ekstrim cenderung disuburkan dan dipelihara. 

Terdengar Familiar bagi kita yang tinggal di bagian barat indonesia ketika ada oknum yang menamai orang melanesia dengan sebutan "monyet" atau "kera". Stereotip lain mengenai orang melanesia seperti "bodoh", "terbelakang", "bau ketiak", "tidak beradab", "tidak tahu berpakaian" juga kerap mewarnai hari-hari saudara kita yang mempunyai warna kulit eksotis tersebut.

Kasus-kasus serupa dengan di surabaya juga kerap terjadi. Contoh lainnya adalah, Diskriminasi di yogyakarta pada juli 2016 terakit aksi damai mahasiswa papua mengenai pelanggaran HAM di papua, yang menandakan betapa gagapnya pemahaman lintas budaya masyarakat indonesia, bahkan di kota pelajar seperti yogyakarta yang digadang-gadang sebagai pusat pendidikan indonesia. 

Kegagapan berfikir ini menyebabkan sentimen rasial, sehingga usaha mendapatkan keadilan HAM disamaratakan dengan usaha separatisme. Menanggapi rentetan kesalahpamahan budaya ini pemerintah mengambil jalan instan dengan berfokus pada pembangunan jalan raya di papua alih-alih berfokus memperbaiki pemahaman konsep budaya yang salah di masyarakat melalui dunia pendidikan.


Sebagai generasi millennial tentunya adalah peran kita untuk mengkampanyekan toleransi budaya pada masyarakat, terutama bagi warga universitas dimana tingkat literasi dan toleransi seyogyanya sudah tidak prematur lagi.

Penulis : Ahmad Ramdhani

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun