Mohon tunggu...
Ahmad Ramdhani
Ahmad Ramdhani Mohon Tunggu... Konsultan - Freelance writer

Seorang Pembelajar di bidang kesehatan mental. (cek ig @wellbeing.shelter).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melanesia, Potret Rasisme di Indonesia

19 Mei 2020   16:22 Diperbarui: 19 Mei 2020   17:26 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apabila berbicara mengenai kemerdekaan indonesia, Tentunya kita juga tidak dapat menutup mata bahwa rakyat papua belum merasakan makna "kemerdekaan" seperti yang dirasakan oleh orang-orang indonesia di provinsi lain. Terlebih surabaya yang dalam hal ini termasuk dalam gugusan pulau jawa merupakan pusat pembangunan indonesia sejak awal kemerdekaan hingga sekarang. 

Berdasarkan perbedaan benefit meningkatnya "standar kelayakan hidup" selama kemerdekaan berlangsung antara masyarakat indonesia bagian barat dengan bagian timur jelaslah terdapat perbedaan dalam menghayati makna kemerdekaan dimasing-masing belahan indonesia tersebut. Dan hal tersebut merupakan hal yang wajar untuk dimaklumi, terlebih dalam konteks pendekatan lintas budaya. 

Kembali pada judul mengenai Melanesia dan Rasisme di Indonesia, praktik rasisme dan diskriminatif terhadap kaum melanesia (baca: kulit gelap) di Indonesia seakan sudah lumrah dan dibiarkan terjadi, bahkan dalam kondisi yang ekstrim cenderung disuburkan dan dipelihara. 

Terdengar Familiar bagi kita yang tinggal di bagian barat indonesia ketika ada oknum yang menamai orang melanesia dengan sebutan "monyet" atau "kera". Stereotip lain mengenai orang melanesia seperti "bodoh", "terbelakang", "bau ketiak", "tidak beradab", "tidak tahu berpakaian" juga kerap mewarnai hari-hari saudara kita yang mempunyai warna kulit eksotis tersebut.

Kasus-kasus serupa dengan di surabaya juga kerap terjadi. Contoh lainnya adalah, Diskriminasi di yogyakarta pada juli 2016 terakit aksi damai mahasiswa papua mengenai pelanggaran HAM di papua, yang menandakan betapa gagapnya pemahaman lintas budaya masyarakat indonesia, bahkan di kota pelajar seperti yogyakarta yang digadang-gadang sebagai pusat pendidikan indonesia. 

Kegagapan berfikir ini menyebabkan sentimen rasial, sehingga usaha mendapatkan keadilan HAM disamaratakan dengan usaha separatisme. Menanggapi rentetan kesalahpamahan budaya ini pemerintah mengambil jalan instan dengan berfokus pada pembangunan jalan raya di papua alih-alih berfokus memperbaiki pemahaman konsep budaya yang salah di masyarakat melalui dunia pendidikan.


Sebagai generasi millennial tentunya adalah peran kita untuk mengkampanyekan toleransi budaya pada masyarakat, terutama bagi warga universitas dimana tingkat literasi dan toleransi seyogyanya sudah tidak prematur lagi.

Penulis : Ahmad Ramdhani

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun