Serba halal, serba baik. Ya, di Kota Padangsidimpuan, bagian selatan Sumatera Utara ini, saya sudah menetap hampir 3 tahun. Di kota kecil yang dikenal dengan buah salak Sibakkuanya ini, saya makin kenal dengan budaya dan kehidupan masyarakat Mandailing.Â
Kota Padangsidimpuan adalah satu dari banyak kota di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Tak heran kalau berbagai tempat dipenuhi dengan tulisan halal lengkap dengan logo halal MUI. Jelas terlihat bahwa masyarakat disini memang sudah aware dengan istilah halal. Dari kota kecil ini jualah saya belajar banyak tentang potensi industri halal Indonesia di dunia.
Indonesia adalah Negara dengan mayoritas penduduk muslim tertinggi di dunia. Saat ini, Indonesia bahkan didaulat sebagai kiblatnya fashion muslim dunia. Beberapa perancang ternama di Indonesia bahkan sudah melakukan berbagai pertunjukan pakaian muslim di kota-kota fashion dunia.Â
Selama ini memang istilah halal identik dengan makanan dan minuman. Padahal sejatinya, halal lifestyle sangat luas aspeknya. Setidaknya ada 8 sektor industri yang masuk dalam halal lifestyle yaitu: Food, Finance, Travel, Clothing, Media/Recreation, Pharmaceutical, Cosmetics dan Medical Care.
Dr. H. Sapta Nirwandar dalam Seminar UNTWO yang berjudul ‘The Contribution of Islamic Culture and Its Impact on the Asian Tourism Market’ di Brunei Darussalam November 2015 silam menyampaikan bahwa pengeluaran penduduk muslim dunia untuk sektor makanan dan gaya hidup adalah $ 2 triliun tahun 2013 dan diperkirakan akan mencapai $ 3,7 triliun pada tahun 2019 nanti. Sementara di Indonesia, market share terbesar berada pada food sector (makanan dan minuman) yakni 14,7 % atau senilai dengan US $ 190,4 miliar, diikuti dengan cosmetics(kosmetik), fashion (pakaian), pharmaceutical(obat-obatan), media/recreation (media/hiburan), finance (keuangan) dan travel(kecuali Haji dan Umroh). Dari sini terlihat betapa besarnya potensi pasar halal food dan sektor gaya hidup lainnya.
Saat ini kita sedang berada pada awal tahun 2018, dimana industri halal di Indonesia tumbuh positif. Saya bisa katakan positif karena di kota tempat tinggal saya sendiri, sudah makin banyak restoran yang memerhatikan kehalalan makanan dan minuman yang dijual, padahal pemiliknya sendiri bukanlah seorang muslim. Hal ini berarti, mereka sudah mengerti potensi industri halal dan memanfaatkannya untuk meningkatkan penjualannya. Maka tidak heran kalau market share tertinggi di Indonesia memang berada pada food sector.
Bahkan produknya sudah mendapatkan sertifikasi halal dan pernah meraih Halal Awards. Itu baru olahan buah salak, ada lagi olahan kopi Sipirok yang dikemas apik dengan logo halal, jajanan khas seperti kipang pulut dan lain sebagainya, yang tentu saja bisa menjadi peluang bisnis yang menjanjikan sangat mungkin untuk dipasarkan ke mancanegara.
Ketiadaan logo halal pada kemasan mi instan dan makanan lainnya yang diperjualbelikan di Indonesia seolah-olah memberi makna 'jangan dibeli' karena 'tidak baik'. Bagi saya sendiri, halal adalah yang utama maka jelas ketika tidak ada logo halal pada kemasan makanan atau minuman saya buru-buru mengembalikannya ke rak dan cari opsi lainnya yang ada logo halal di kemasannya.
Bisa dibayangkan apa yang terjadi kalau semua orang hanya mau membeli makanan dan minuman dengan logo halal pada kemasannya? Kira-kira berapa banyak tingkat penurunan penjualan makanan dan minuman tanpa logo halal yang akan terjadi? Betapa besarnya dampak halal pada food sector.
Salah satu brand ternama seperti Wardah kini meraih pangsa pasar di daerah urban sebesar 16 %. Ketika kosmetik halal seperti Wardah mencapai penjualan hingga 50 % setiap tahunnya, produk kosmetik lainnya melaju tidak lebih dari 10 %. Dari sini dapat dilihat, bagaimana kosmetik halal kini memimpin industri kosmetik di Indonesia.Â