Mohon tunggu...
Andi Hamdan
Andi Hamdan Mohon Tunggu... -

Terlalu lemah untuk mengubah, terlalu tangguh untuk diubah. Rodagigi berputar terus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berkaca Pada Refleksi Kisah Adam-Hawa

2 Oktober 2015   17:44 Diperbarui: 2 Oktober 2015   17:58 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hampir semua pemeluk "Agama Agama Langit" tentunya pernah membaca kisah Adam dan Hawa (Eva) dari kitab sucinya. Yang dimaksud Agama Langit adalah agama yang sepakat meriwayatkan bahwa asal usul manusia pertama adalah Adam dan Hawa (Eva). Baik Taurat, Injil Perjanjian Lama dan Baru, maupun Al Qur'an mengisahkan hal yang sama.

Bermula Adam dan Hawa setelah diciptakan hidup di "surga" yang amat menyenangkan. Segala keinginan terpenuhi. Sampai pada suatu kejadian berikut.

Ceritanya kurang lebih tentang Nabi Adam dan Hawa (Eva) terkena bujuk rayu iblis yang berupa ular untuk memakan buah larangan, buah khuldi (Islam), atau apel. Tuhan melarang Adam dan Hawa memakan buah itu dengan alasan yang tak diberikan, maka iblis justru mengarang cerita bahwa kalau Adam dan Hawa memakan buah khuldi, maka mereka akan panjang umur alias hidup kekal (laiknya Tuhan !) didalam surga. Dan Adam memakan buah itu, diikuti oleh Hawa!

Akibat kesalahan itu, kedua manusia pertama itu dihukum Tuhan dengan me"lempar"kan mereka ke bumi, keluar dari surga. Akibatnya keduanya beserta keturunannya harus berikhtiar dan berjuang untuk mendapatkan kesenangan. Kalau tadinya waktu hidup di surga semua didapatkan tanpa usaha, kini harus dengan segala perjuangan sebagai makhluk bumi.

Dan kita kita inilah, manusia, yang menanggung kesalahan moyang kita, Adam dan Hawa. Kita harus berjuang keras untuk bukan selalu untuk mencari kesenangan bahkan sekedar untuk bisa makan. Terkadang kita harus saling berkelahi memperebutkan sesuatu untuk kehidupan, bahkan sampai berdarah-darah, menyabung nyawa, berperang. Padahal kalau saja Adam dan Hawa tidak melanggar perintah Tuhan, kita tentu dengan amat bahagia masih hidup di surga dengan segala kesenangannya.

Terbersit renungan dalam pikiran saya (mungkin juga anda), bisakah kita menuntut Tuhan untuk "pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM)" yang dilakukan terhadap kita. Kita tak tahu menahu bahkan belum lahir, kok bisa-bisanya kita ikut teraniaya atas kesalahan moyang kita. Apakah Tuhan tak bisa sedikit "berdemokrasi"? Apakah Tuhan bisa diminta meratifikasi Pasal-Pasal Ketentuan Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hak Azasi Manusia? Kepada siapa lagi kita bisa menuntut keadilan dan kebenaran menurut versi kita, manusia?

Inilah refleksi yang muncul dalam pikiran kita tentang kesalahan orang tua yang anak cucunya "terpaksa" menerima akibatnya (hukuman) walau tidak melakukan kesalahan itu sendiri.

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun